32. Black Cloud

72.8K 4.7K 215
                                    

Kalian semua luar biasa banget! Terima kasih banyak udah kasih lebih dari yang aku minta! Lubyu all! (⁠✿⁠ ⁠♡⁠‿⁠♡⁠)

***

"Kan, bunda udah bilang, jangan telat makan. Bilangnya gak perlu khawatir, kamu bisa jaga diri sendiri. Tapi, mana? Buktinya kamu malah masuk rumah sakit!" celoteh Bu Arin seraya membuka kotak makan yang dibawanya dari rumah.

"Udah, dong, Bun. Kasihan Flora, lho. Lagi sakit, malah diomelin," ujar Pak Ikram seraya mengusap bahu istrinya, berusaha memberikan ketenangan.

Namun, nyatanya, Bu Arin justru semakin kesal. "Terus aja kamu belain anak ini! Wajar aja Flora masih kekanakan, soalnya kamu manjain terus!"

"Kok, Bunda malah bilang aku kekanakan, sih?" protes Flora.

"Karena cuma anak-anak yang gak bisa jaga diri sendiri!" sentak Bu Arin sambil melototi sang putri.

Flora hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Tidak perlu ditanya lagi dari mana Flora memiliki emosi yang meledak-ledak, bukan? Bundanya itu seperti tidak kasihan melihat keadaan Flora. Padahal wajahnya masih pucat karena pusing. Tubuhnya sudah dibalut baju pasien yang sedikit keberasaran. Sang bunda masih saja mengomel panjang lebar saat ini.

Berita kehamilan Flora memang belum disiarkan kepada siapa pun. Yang diketahui oleh Bu Arin dan Pak Ikram, putrinya masuk rumah sakit karena masalah lambung. Walaupun sangat ingin merayakan momen bahagia ini dengan sanak saudara, Madhava harus mencari penyampaian berita yang baik supaya ayah mertuanya tidak marah. Bagaimanapun juga kehamilan ini telah mematahkan harapan ayahnya supaya Flora bisa fokus kuliah lebih dahulu.

"Kok, aku malah dibilang kekanakan, sih? Padahal, kan, aku masuk rumah sakit bukan karena gak bisa jaga diri," protes Flora seraya menunggu sesendok pasta masuk ke mulutnya.

"Sabar, Sayang. Bunda tidak tahu apa-apa, makanya berkata seperti itu," ujar Madhava.

Flora mendengkus pelan. "Mas udah tahu gimana caranya kasih tahu ayah?"

"Belum. Aku masih bingung." Madhava tersenyum senang melihat Flora menyambut baik pasta yang diberikannya. Sang istri makan dengan lahap, seperti anak kecil kelaparan.

"Gimana kalau kita tanya Kak Agatha aja?" bisik Flora lagi, padahal mulutnya penuh dengan makanan. "Pengalamannya lebih banyak, tuh, pasti lebih tahu apa yang harus kita lakukan. Siapa tahu Kak Agatha punya temen yang kayak kita, gak diizinin punya anak dulu tapi malah kebobolan."

"Iya, nanti aku tanya Kak Agatha. Sekarang kamu fokus makan saja dulu."

"Atau kita kasih tahu aja keluarga Mas dulu. Mereka pasti seneng, kan, tahu aku hamil? Nah, ayah jadi yang terakhir aja. Pasti nanti ayah gak bisa ngapa-ngapain karena kalah suara. Iya, kan?"

"Sayang ...." Madhava bersuara lembut. Sembari mengusap pipi Flora, ia berkata, "Ingat, jangan bicara sambil makan. Kita habiskan pastanya terlebih dahulu, baru lanjut cari jalan keluarnya nanti. Ya?"

"Iya, iya ...."

Madhava tersenyum puas mendengar jawaban Flora. Akhirnya, ada momen di mana istrinya itu menurut tanpa mendebat. Bukan risi mendengar celotehan Flora, Madhava hanya tidak mau istrinya itu tersedak.

Diam-diam, Bu Arin dan Pak Ikram terus memperhatikan anak dan menantu mereka dari sudut ruangan. Mereka cukup terkejut melihat Flora dan Madhava bisa akur dengan cepat, mengingat sang putri masih begitu marah tadi pagi. Ditambah lagi Flora sendiri yang meminta disuapi oleh suaminya, membuat Bu Arin dan Pak Ikram merasa senang.

"Tumben banget anak kita bisa luluh tanpa minta dibeliin sepatu, ya, Bun?" bisik Pak Ikram seraya menyenggol pelan sikut istrinya.

"Paling karena kepepet kangen, Yah. Semalem, kan, Flora terus panggil nama Nak Madha pas tidur," balas Bu Arin, ikut berbisik.

Emergency Wedding [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang