6. New Home

101K 7.5K 133
                                    

"Kok, malah diam aja, sih, Flo? Bantu bunda, dong. Ini juga baju-baju kamu, seharusnya kamu yang beresin," keluh Bu Arin seraya melirik putrinya sekilas, lalu kembali fokus pada koper.

"Aku ngerasa lagi diusir sama Bunda," cetus Flora seketika. "Emang gak boleh aku tinggal di sini aja, Bun? Kamar kosong masih ada, kan? Bisa, tuh, jadi tempat tidur Pak Madha."

Bu Arin kembali menatap putrinya secepat kilat. "Kamu niat pisah kamar sama Nak Madha?"

"Eh? Bukan gitu," sergah Flora dengan cepat. "Tapi ... masa iya satu kamar juga, Bun? Malu, lah. Risi!"

Saat itu juga, Bu Arin langsung menyimpan kaus hitam yang dipegangnya. Beliau duduk di tepi ranjang, menatap Flora yang masih memberengut di kursi meja rias. "Bunda tahu ini semua terlalu tiba-tiba. Tapi, kamu harus berusaha untuk menerima Nak Madha sebagai suami kamu, Flo. Dalam agama kita, jelas tidak boleh suami dan istri tidur di kamar terpisah. Kamu mau jadi istri durhaka?"

Bibir Flora semakin maju. "Oke, aku bersedia tidur satu kamar sama Pak Madha. Tapi tinggal di sini aja, sama Bunda dan ayah. Gak perlu pindah segala."

"Walaupun hubungan ayah dan Nak Madha terjalin dengan baik, tapi menyatukan dua kepala keluarga dalam satu rumah itu bukan ide bagus, Sayang." Lagi-lagi, Bu Arin mematahkan harapan putri semata wayangnya. "Lagipula, dengan kalian tinggal berdua, itu bisa menjadi kesempatan untuk saling mendekatkan diri."

Kali ini, Flora tidak menyahut. Dia memilih menunduk, menatap cincin emas yang melingkar di jari manisnya. Berlian merah muda berbentuk hati membuat benda bulat itu terlihat lebih cantik. Cincin ini yang telah membawa banyak sekali perubahan dalam hidup Flora. Bukan hanya status, tempat tinggalnya pun harus berubah sekarang.

"Flora ...." Bu Arin meraih tangan sang putri dan menggenggamnya erat. "Bunda dan ayah tidak mengusir kamu. Kamu akan selalu menjadi putri kesayangan kami. Pintu rumah ini akan selalu terbuka kapan pun kamu datang. Tapi, Nak, ladang baktimu sekarang bukan kami lagi, melainkan Madhava. Kamu lebih berkewajiban untuk mengikuti ucapannya dibandingkan bunda dan ayah."

Flora mengangkat kepala perlahan. Ia membalas tatapan lembut bundanya dan berkata, "Pokoknya, tiap akhir Minggu aku mau pulang ke sini."

"Boleh, Sayang," jawab Bu Arin seraya mengangguk mantap.

"Awas aja kalau kamar aku ini dijadiin gudang."

Bu Arin terkekeh. "Enggak akan, lah. Nanti anak bunda yang cantik ini tantrum. Susah bujuknya, harus dikasih tas mahal dulu."

Hanya decakan pelan yang keluar dari bibir mungil Flora. Ia pun segera membantu sang bunda Buku, sepatu, tas, dan aneka perlengkapan make-up pun Flora kumpulkan untuk ikut pindah ke tempat baru. Semua barang bisa diangkut setelah masuk ke tiga koper besar.

Begitu selesai, Flora pun segera meminta Madhava untuk memindahkan barang-barangnya. Ia sempat terdiam selama beberapa saat, untuk sekadar meperhatikan kedekatan Madhava dan sang ayah. Mereka cukup akrab karena sama-sama berkecimpung di bidang hukum. Pak Ikram adalah hakim yang cukup diperhitungkan kehadirannya di ibukota.

Madhava benar-benar fokus dengan jalanan begitu keluar dari rumah orang tua Flora. Ia tidak membuka obrolan karena merasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Ketika menurunkan koper dari bagasi mobil pun, Madhava tidak bersuara meskipun barang-barang Flora sangat berat. Dia juga tidak melarang ketika gadis itu meberinisiatif membantu. Madhava serahkan saja koper paling ringan, yang berisi perlengkapan make-up.

"Ini pin apartemen kita."

Tanpa sadar, Flora mengembuskan napas lega ketika mendengar bariton rendah Madhava. Yang barusan adalah tiga puluh menit paling menegangkan dalam hidupnya.

Emergency Wedding [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang