25. The Past

64.9K 4.4K 178
                                    

"Kayaknya Madhava cinta mati sama Selina, deh. Nempel mulu!"

"Mereka cocok banget. Kayak tercipta untuk satu sama lain gitu, lho."

"Gue yakin, ujungnya mereka bakalan nikah. Gue jamin!"

Perkataan semacam itu sering Madhava dengar saat SMA dulu. Walaupun berbisik-bisik, selalu ada saja komentar tentang dirinya yang sampai ke telinga. Ralat, tentang dirinya dan Selina.

Ya, Madhava selalu menempel pada kekasihnya itu setiap kali ada kesempatan. Ia ikut ekstrakurikuler pecinta alam padahal merupakan anak rumahan, rela menemani gadis itu latihan cheersleader dari pagi hingga sore setiap akhir Minggu, sampai mengadakan belajar bersama padahal mereka bisa berbeda lintas minat. Semua itu Madhava lakukan supaya bisa terus bersama Selina.

Madhava juga termasuk laki-laki yang akan memberikan apa pun untuk orang terkasihnya. Ya, apa pun. Madhava rela hujan-hujanan demi menjemput Selina pulang kerja kelompok, rela ikut dihukum di depan peserta upacara karena Selina datang telat, bahkan berkuliah di Inggris pun demi Selina. Gadis itu menerima beasiswa di Imperial College London, maka Madhava langsung banting stir sekalipun universitas impiannya ada di Australia.

Jika Madhava merupakan anak muda zaman sekarang, mungkin ia akan menerima predikat bulol, bucin tolol.

Sebuah hubungan akan bertahan jika cinta laki-lakinya yang lebih besar.

Sayangnya, mantra semacam itu tidak berlaku untuk hubungan Madhava dan Selina. Sekalipun Madhava percaya diri bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa mencintai Selina sebesar dirinya, hubungan mereka kandas juga. Kenangan panjang nan indah yang dirajut bersama seperti tidak berarti apa-apa untuk Selina malam itu, tepat di hari jadi mereka yang ke lima tahun.

"Saya sudah pesan cokelat panas untuk kamu. Mungkin sebentar lagi akan datang," ujar Madhava ketika Selina baru mendaratkan bokongnya di kafe yang dijanjikan.

"Makasih," balas gadis itu seraya menunduk dalam. Tidak ada senyum ceria yang biasanya terpancar.

"Saya berikan kadonya sekarang saja, ya?"

Madhava pun berbalik, bersiap mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang berhiaskan pita dari dalam tasnya. Ia membelikan laptop, mengingat Selina mengeluh tidak bisa bekerja cepat karena laptopnya rusak. Namun, apa yang diucapkan sang kekasih sukses membuat Madhava mematung seketika.

"Aku mau putus."

Susah payah Madhava menelan salivanya. Ia berbalik perlahan, menatap Selina dengan dahi berkerut. "Apa yang kamu katakan barusan?"

"Aku mau putus, Madha," ulang gadis itu, lebih jelas dari sebelumnya. "Kita akhiri aja hubungan kita sampai di sini."

Ketika melihat Selina bangkit, Madhava pun bangkit dari duduknya. Ia bergerak cepat, menahan pergelangan pacarnya yang hendak pergi. "Apa alasannya kamu mau berpisah dari saya? Kenapa kamu mau mengakhiri semuanya?" tanya lelaki itu dengan suara yang bergetar.

"I just ...." Selina berbalik, menatap Madhava dengan tatapan datar. "I can't be with you anymore."

"Tell me the reason. Why? Why you can't be with me?"

Selina menepis tangan Madhava dengan kasar. "Karena aku udah gak cinta lagi sama kamu, Madha. Perasaan aku hilang!"

"Hilang dalam satu malam? Kamu berkata bahwa kamu sangat mencintai saya kemarin. Kamu berkata tidak akan bisa bertahan hidup jika tidak ada saya. Kamu berkata sayalah kebahagiaan terbesar kamu. Lalu, kenapa .... Kenapa sekarang perkataan kamu sangat berbanding terbalik?"

Tidak ada jawaban. Selina justru memilih untuk membuang muka. Wajahnya masih sama, datar. Tidak ada ekspresi yang berarti. Berbanding terbalik dengan Madhava yang terlihat sedih, marah, dan kecewa di waktu bersamaan.

Emergency Wedding [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang