10. Ari Rahmat Sukoco

90 9 87
                                    


"Ha ha ha."

Ari tertawa dibarengi tawa pemain domino lainnya. Ucapan Sam tadi memperjelas kalau dirinya tak ingin wanita yg dia panggil Tante itu didekati Ari atau beberapa pemain domino yang ikut tertawa.

Bagaimana pun juga, wanita itu telah membantu Sam keluar lebih cepat dua puluh empat jam dari waktu yang seharusnya. Dari jauh yang dilihat Ari, wanita itu memang menawan. Sementara perhatian kecilnya tentu saja memperjelas kemungkinan wanita itu menyukai Sam.

Wanita mana yang tidak akan jatuh cinta pada remaja enam belas tahun itu? Meski usianya enam belas tahun, Sam justru terlihat seperti usia dua puluhan. Postur tubuhnya tinggi, wajahnya dinilai manis oleh para gadis kampung ini. Kulit eksotis yang dia dapatkan karena terbakar sinar matahari saat membersihkan kebun sawit. Tubuhnya kekar, tangannya berotot karena remaja itu sering mengangkat buah sawit berenjeng-renjeng yang cukup berat untuk anak seusia dirinya.

Tak terasa kini Sam sudah remaja. Di tahun kelahiran Sam, tubuh Ari bergetar. Kepalanya pusing dan matanya memaksanya untuk terpejam. Tangan Ari mengatup di depan dadanya, pria yang saat itu masih SMP mencoba berkonsetrasi terhadap getaran tubuhnya, maka saat itu ajian "putawakatu" seketika berfungsi.

"Gandrung," ucap Ari saat itu. Pria itu melihat dengan mata batinnya wujud seorang pemuda tampan sedang menunggangi kuda dengan baju zirahnya. Pemuda itu lalu turun dari kudanya.

"Gandrung," ucap Ari yang masih konsentrasi.

Pria yang dipanggil Gandrung itu tampak matanya merah. Cairan bening mengalir di kedua sudut matanya. Tangisnya membuncah seraya menggengam tangan seseorang di depannya.

"Suatu saat kita akan bertemu lagi, Mpu. Maafkan aku. Aku tak ingin kau menderita begini," ucap Gandrung. Lalu pemuda itu mengambil pisau mengakhiri nyawa pria yang dia panggil Mpu.

"Tidak!!!!" pekik Gandrung,

"Oekkk! Oek!"

Terdengar tangis Sam bayi saat itu. Ajian putawakatu seketika selesai. Ari membuka matanya dan entah mengapa dia langsung memanggil bayi itu sebagai Gandrung. Saat itu dia mencoba memberi saran kepada emak bayi untuk memberi nama Gandrung yg dia dapat dari ajian putawakatu.

Berhubung nama itu aneh dan Ari masih SMP, seluruh keluarga hanya tersenyum saja.

"Nanti dipertimbangkan, Le," ujar ayah Sam.

Dan pada akhirnya, bayi itu diberi nama Samuel Rizal. Sosok Gandrung yang dilihat Ari dalam ajiannya itu tergambar nyata di sosok Sam saat ini.

"Mas! Lha iyo, malah ngelamun." Sam menepuk bahu Ari. "Kopinya udah dingin, tuh."

Ari menyeruput kopi pahit berukuran gelas kecil yang dipesan sesaat dia datang. Kopi itu dia letakkan kembali ke atas piring tadah.

"Sam," panggil Ari.

"Engge." jawab Sam setelah menyalakan rokoknya.

"Kowe percaya sama ajian putawakatu seng tak ceritain itu?"

Sam mengembuskan asap rokohnya. "Zaman ngene loh, Mas. Lha Mas juga manggil-manggil aku gandrung, sementara aku nggak digandrungi cewek-cewek."

Ucapan Sam lagi-lagi ditanggapi tawa oleh oarang-orang di sekitarnya termasuk Ari. Pria itu menepuk kembali bahu Sam. "Nggak digandrungi cewek-cewek tapi sekalinya bikin cewek dewasa manut sampai ngeluarin dari penjara.

"Bisa aja Mas ini," ucap Sam tersipu. "Enggak pantas rasanya kalau aku ngedeketin dia."

Ari mengembuskan napas pelan sembari memejamkan mata sejenak. Perlahan senyum simpul terlukis dari bibirnya. Lalu, gelengan pelan menanggapi ucapan Sam barusan.

"Bener, kowe memang belom pantes deketin dia. Namanya aja nggak tau, gimana mau ngedeketin? Oh iya, kapan kira-kira kowe ketemu dia?" tanya Ari penasaran. Pria itu memang sangat penasaran dengan Nic. Sebab, dari jauh ajian putawakatu miliknýa sempat bergetar meski sangat lemah. Artinya, pria itu sempat menerawang Nic.

Sam menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Nggak tau, Mas. Memangnya kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa. Tapi, ini cuma ramalan loh, ya. Boleh percaya, boleh enggak," tukas Ari serius dengan menatap Sam.

"Mas,  terus ngomongnya gini. Boleh percaya boleh enggak. Nanti ditanya lagi malah lupa," sambung Sam.

"Kayaknya, dia ada hubungannya sama kamu. Sam. Itu kayak ikatan batin ngono, loh. Dia kayak sengaja nyari kamu karena sebuah dorongan. Entah dorongan apa, aku enggak bisa nebak, soalnya terawanganku untuk dia terlalu lemah."

Sam hanya merespon dengan menarik kedua sudut bibirnya. Remaja itu seperti tidak terlalu menyimak obrolan Ari. Lagi-lagi dia membesarkan matanya dan menggaruk kepala bagian belakang.

"Aku nggak tau apa-apa, Mas. Tiba-tiba dia nyari aku dan ketemu di penjara. Kalau kutanyain jawabnya aku mirip temannya," tukas Sam.

"Lha iyo, pancen wajahmu pasaran kok!" semprot Wahyu lawan bermain domino Sam tadi.

"Jangan gitu lah, Mas," protes Sam seraya menggosok pipinya.

"Kayaknya, ini ada kaitannya sama masa lalu Sam," ucap Ari.

"Aku belom pernah ketemu sebelumnya, tapi ya gitu. Aku kayak ngerasa kenal dia. Sayangnya, dia terlalu dewasa, Mas."

Ari menoleh dan kembali menepuk bahu Sam. "Kowe percaya teori reinkarnasi?"

Sam menggeleng pelan.

"Boleh percaya, boleh tidak. Setiap kita ini punya masa lalu, Sam. Jadi kita mati, terus dilahirkan lagi. Gitu seterusnya, tapi semua ini jadi rahasia ilahi," cerita Ari.

"Aku kok malah merinding," sabung Sam.

Ari mengembuskan asap rokoknya dan mematikan api rokoknya dengan menekan rokoknya di dalam asbak porselein. "Kayaknya, kalian ini pernah saling kenal. Mbak-mbak itu kayaknya mendapatkan gesekan kecil dari informasi masa lalunya. Karena setiap orang pasti akan begini, keingat masa lalu."

Sam menatap Ari serius. Sementara Wahyu dan pemain domino lainnya hanya sesekali menyimak ucapan Ari.

"Apa hubungannya sama Sam?" tanya Sam dengan tatapan penasaran.

"Kayaknya dia, nemuin kamu. Entah itu dalam ingatan atau mungkin mimpi, atau hanya dejavu," terang Ari. "Dan mbak-mbak cerdas itu, ingin merealisasikan mimpinya."

"Mimpi?" ulang Sam.

"Mungkin," jawab Ari.

"Aku sering mimpi berada di zaman dulu. Yang paling kuingat, aku mimpi kayak jadi orang dewasa. Selebihnya aku lupa," tukas Sam.

"Aku bisa bantu kamu, Sam. Mungkin sekarang saatnya. Menghubungkan mimpimu dengan ajian putawakatu milikku. Sebab, aku ingin mastikan ajian ini bukan omong kosong," terang Ari.

Mendadak obrolan Ari teriterupsi karena ponsel di saku celana hitamnya bergetar. Ari mengangkat panggilan tanpa melihat nama si penelepon.

"Iya, Mbak Fanny?" sapa Ari.

Kamar SuteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang