"Gila gue gak nyangka!"
"Ternyata murahan!"
"Baik luarnya aja!"
"Gue kira polos, ternyata bar-bar!"
Kata-kata makian dan umpatan macam itu mengiringi Iza berjalan ke ruang BK. Hari ini hari terberat bagi Iza. Bukan karena dia dipanggil ke ruang BK tapi karena masalah yang membuatnya di panggil. Dia sendiri gak percaya ama foto yang dilihatnya, tapi itu memang foto dia ketika ditolongin Fian.
Sekitar 2 jam-an di ruang BK, akhirnya mereka diperbolehkan pulang. Bu Dewi akan melaporkan hal ini ke Kesiswaan, supaya ditindak lanjuti. Iza berterimakasih ke Bu Dewi karena mau membantu membuktikan kalau mereka bertiga tidak bersalah.
"Kalian memang korban fitnah. Kalau kalian salah buktinya akan berkata lain," kata Bu Dewi.
"Iya Bu..." jawab mereka bertiga.
"Yaudah. Sekarang kalian pulang terus istirahat. Iza, jangan dipikirkan, kamu gak salah. Ibu akan berusaha mengatasi ini," janji Bu Dewi memeluk Iza.
"Iya Bu, terimakasih..." ucap Iza.
Mereka bertiga pulang. Iza pulang dengan Fian. Di sepanjang jalan Iza diam saja. Akhirnya dia gak kuat dan menangis diam-diam. Fian menghentikan motornya karena gak enak feeling.
"Za?" Fian berhenti dan turun dari motor. Dia membantu Iza turun dari motor dan duduk di kursi di pinggir jalanan kota. "Za..."
"Sori Gris, gue... gue... udah bawa masalah buat elo, hiks...sori..." ucap Iza dengan isakan yang masih deras. "Sori Gris, hiks..hiks..."
"Sshh... Udah, elo gak salah, Za! Ssshhh..." hibur Fian memeluk Iza. Dia mencoba menenangkan Iza.
"Harusnya gue nelpon Salsa...bu, bukan elo..."
"Za, udah ya... Berhenti nyalahin diri lo sendiri. Lo gak salah, Za!"
Hampir sejam mereka duduk disitu. Menunggu Iza menangkan diri.
"Gris?" panggil Iza.
"Hm?"
"Cilok itu enak kayaknya," kata Iza pelan. Tawa Fian nyembur.
"Ahahahahah... Ini baru Iza yang gue kenal," ujar Fian. "Tunggu sini, gue beliin!"
"Iya,"
Malam harinya Revan main ke rumah Iza. Mereka ngobrol di ayunan samping rumah. Revan udah biasa main kesana, jadi udah dianggap seperti anak sendiri. Mereka ngobrolin masalah Iza di Sekolah. Karena Revan kenal Iza dari kecil dia gak bakalan percaya hal-hal semacam itu.
"Ya, gua gak enak aja sama Grisfian, Van," kata Iza.
"Kenapa?" Revan menaikan alisnya.
"Dia kan habis nolongin gue Van!" kata Iza.
"Iya sih..." ujar Revan dengan nada berat. "Lo gak punya bayangan gitu?"
"Ada sih, tapi tar klo salah bisa berabe,"
"Anak kelas?"
"Iya. Kan itu deket sama kelas kita,"
"Iya juga sih,"
"Za, mending lo agak menjauh dari Fian dulu deh," Revan memberi saran setelah beberapa saat.
"Hng?" Iza bingung memandang Revan.
"Iya, biar kasus ini selesai dulu. Gue takutnya kalian kefoto lagi, terus... ya, gitu deh..." jelas Revan.
"Iya sih..." Iza menyetujui usul Revan. Masuk akal sih, tapi kok rasanya berat ya?. Iza terdiam sejenak, "Van bantuin gue ya?"
"Apa Za?" Iza membeberkan rencananya, Revan manggut-manggut mengerti.***
4 hari berlalu dan ejekan ke Iza masih tetap ada, bahkan setelah mereka tahu kalau ceritanya tidak seperti yang disebarkan. 4 hari juga Iza menjaga jarak dari Fian. Fian bingung bukan kepalang, sampe-sampe dia gak konsen latihan.
"Lo kenapa sih, An?!" bentak Marco. "Tiga kali lo salah terus!"
"Sori..." jawab Fian pendek.
"An, kita tau lo lagi kena masalah, tapi bukannya lo yang bilang kalo pas latihan lo harus kesampingkan hal lain," Dian mengingatkan. Ketika Fian diam saja, Yudha angkat suara, "Yaudah gini aja. Hari ini kita sudahi dulu latihannya,".
"Gua balik!" Marco menganbil tas dan keluar. Diikuti oleh Dafa, Dian dan Angga.
Fian duduk bersandar ke dinding. Yudha menghampirinya.
"Bro, gimana kelanjutan kasusnya?" tanya Yudha pelan.
"Kasusnya sih udah jelas, tinggal cari siapa yang sengaja motret dan nyebarin isu gendeng ini," jawab Fian.
"Trus lo kenapa?" tanya Yudha makin gak ngerti.
"Iza..."
"Iza kenapa?" Yudha tambah gemes aja sama bestinya ini. Mau cerita tapi dicicil seuprit-seuprit.
"Dia ngejauhin gue," jawab Fian pelan.
"Ah..." kini Yudha paham. "Mungkin dia butuh waktu kali, An. Dia kan siswa teladan, tiba-tiba kena kasus kayak gini jelas dia syok banget kan?"
"Awalnya gua pikir juga gitu, tapi... dia sama sekali gamau ketmu gue, gak angkat telepon gue, gak bales chat gue..." Fian terlihat kebingungan. Yudha kaget, ni anak beneran suka Iza dong. Yudha melihat ke Revan, wajah Revan biasa aja.
"Kenapa lo bingung? Mulai care? Mulai suka ke Iza?" tanya Revan santai.
"Van..." Yudha memperingatkan.
"Maksut lo apa?" tanya Fian keras. Dia berdiri berhadapan dengan Revan dan Yudha diantara mereka.
"Gue yang nyuruh Iza buat jauhin lo!" tandas Revan. Yudha dan Fian kaget. Spontan Fian mendorong Revan keras, "Maksut lo apa, Hah?!"
"Bro, tenang Bro..."lerai Yudha.
"Lo paham gak sih gimana posisi Iza?" tanya Revan. Dia tetep santai meski Fian ngamuk di depannya. "Lo tau apa yang dia rasain dengan adanya isu ini? Iya, An lo cowok. Setelah terbukti kalian gak salah lo bisa aja nyante. Iza cewek, An! Dengan adanya isu seperti itu dia udah di cap sebagai cewek gampangan, cewek murahan walaupun mereka tau Iza gak salah! Iza bakalan terus diawasi atau dicari-cari kesalahannya sekalipun kita belain dia. Di sosmed hal ini bakalan lebih kejam, An! Dia bakalan dirongrong terus sampe mampus! Lo mikir gak!!" bentak Revan.
Fian tersentak. Dia gak mikir sampek situ. Dia cuman mikir kalo Iza gak salah yaudah selese. Dia gak mikir efek dari isu itu sendiri, dampaknya ke Iza gimana. Walaupun itu gak adil buat Iza tapi hal itu pasti terjadi. Pantesan Iza sampe nangis kayak gitu. Masih sempet lagi dia minta maaf ke Fian karena ikutan kena. Iza aja sempet mikirin Fian, tapi Fian gak sampe situ pikirannya. Dia merasa tertampar. Cowok macam apa dia yang gk paham keadaan pacar sendiri. Malah Revan yang ngerti. Miris banget lo, An! Dia mau marah ke Revan tapi gak bisa. Walaupun kasar tapi perkataan Revan tadi benar. Kesampingin baper lo dan bantu Iza. Itu yang harus gue lakuin! Fian menatap lantai dengan marah.