Disclaimer :
Please, ya. Aku udah bolak-balik disclaimer. Ini memang cerita area dewasa. Yang takut, yang nggak sanggup, yang ngeri, atau bahkan yang jijik, please nggak usah klik jika memang kalian nemu cerita ini di tagar #dewasa #mature. Udah jelas kan arti tagar itu apa?
Ini hiburan semata, nothing in real life. Kalau ada nama tokoh, tempat, adegan yang sama murni itu hanya fiktif yang author ciptakan sendiri.
Sejak Papa meninggal, Mama memutuskan tinggal di Tangerang. Mama memilih tinggal di sebuah perumahan di kawasan Pinang. Alasan memilih rumah di sana lantaran ada adik Mama yang juga tinggal di salah satu perum itu.
Sebenarnya hanya membutuhkan sekitar satu jam dari residen yang Ribel tinggali. Namun, aku jarang mengunjungi beliau.
Mama sedang sibuk dengan koleksi tanamannya ketika aku datang. Wajah tua yang masih terlihat cantik itu menoleh dan sedikit menampakkan raut terkejut saat melihatku.
"Dini?"
Aku tersenyum kikuk. Ada kerinduan yang menyeruak saat dia menyebut namaku. Harusnya aku berlari, menyongsong dan segera memeluknya. Tapi yang aku lakukan malah diam mematung dan hanya menunjukkan ekspresi datar. Persis sama ketika terakhir aku datang ke sini.
Mama meletakkan gunting tanamannya lalu beringsut ke kran air di dekat teras rumah, mencuci tangan.
"Kamu mau berdiri terus di situ?" tanya Mama melihatku yang masih mematung.
Aku tersadar sejenak lalu segera menenteng bawaanku dan bergerak mendekati Mama. Terlalu banyak hal yang aku sembunyikan dari Mama, tiap kali melihatnya selalu saja ada perasaan bersalah.
Mama masuk ke rumah dengan aku yang mengekorinya. Tanpa banyak bicara wanita setengah abad itu menuju dapur dan sibuk menjarang air. Kebiasaannya kalau aku datang. Dia akan membuat teh merah.
"Ma, aku bawain kue lapis kesukaan Mama," ujarku meletakan sebuah tote bag ke atas meja makan.
"Kamu sudah makan, Din?"
"Sudah, sebelum ke sini aku makan dulu."
Tidak lama dua cangkir teh merah tersaji di atas meja. Mama duduk di depanku, mata tuanya menatapku, tapi segera berpaling seraya menghela napas.
"Sekarang ada kabar apa lagi?"
Ya, setiap aku datang memang selalu membawa kejutan untuknya.
"Nando belum ke sini, Ma?" Aku merespons lain. Bukannya menghindar, cuma merasa belum saatnya saja aku menjawab. Aku baru saja sampai.
"Ma! M A M A ... Mama...."
Itu suara Nando yang terdengar dari depan rumah. Panggilan bernadanya dari kecil masih dipelihara padahal dia sudah bangkotan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Cover (THE END)
Fiction généraleBUDAYAKAN FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA WARNING 21+ (MENGANDUNG ADEGAN DEWASA, BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN) Andini merasa penat dengan pernikahannya yang sudah di ujung tanduk. Sudah satu semester dia pisah rumah dengan suaminya. Meski begit...