Bunyi bel mengalihkan perhatianku dari layar LED. Aku terpaksa mem-pause film yang lagi kutonton. Film besutan James Cameron sutradara berkebangsaan Kanada itu nggak pernah gagal bikin aku betah di depan layar.
Dari doorbell camera aku bisa melihat wajah asisten Ribel. Lelaki tinggi itu hampir tiap sore datang ke apartemen melaporkan ini itu pada bosnya. Tumben hari ini datang pagi.
"Selamat pagi Nona Andini," sapa Tommy tersenyum. "Maaf mengganggu pagi Anda."
Aku menjawab singkat salamnya dan melirik seseorang yang dia bawa. Di doorbell camera tadi aku nggak melihat ada orang lain.
"Saya datang untuk mengantar perawat yang akan menjaga Pak Ribel, Nona."
Dahiku mengernyit. Sudah dua hari aku tinggal bersama Ribel dan nggak ada sesuatu yang membuat lelaki itu memerlukan seorang perawat. Dua hari ini aku yang selalu membantu jika dia butuh atau menginginkan sesuatu.
Mataku memindai perawat wanita dengan tinggi semampai di samping Tommy. Seragam putih yang dia kenakan begitu pas membungkus tubuhnya yang sintal dan ideal. Wajahnya... Sial, dia memiliki lesung pipi saat tersenyum. Kulitnya agak kecoklatan, tapi demi Tuhan dia manis dan seksi. Dan, seharian dia akan menjaga Ribel? Ooh, tidak bisa.
"Namanya Suster Vina. Suster Vina akan datang tiap pagi dan pulang sore hari. Dia akan—"
Tanganku terangkat. Meminta Tommy berhenti menjelaskan tentang suster yang sama sekali nggak aku undang itu. Mendadak aku kesal dengan kedatangan suster bernama Vina itu.
"Kalian tunggu di sini," ujarku lantas berbalik masuk.
Apa-apaan ini? Ribel nggak pernah berdiskusi apa pun soal perawat. Bagaimana bisa dia memutuskan hal sepenting ini tanpa bertanya dulu padaku?
Aku membuka pintu kamar Ribel dengan kasar. Pria itu masih duduk di atas ranjang memangku sebuah laptop. Dia menoleh.
"Kok kamu nggak pernah bilang kalau bakal ada perawat yang datang?" tanyaku mendekat dan bersedekap tangan di depannya.
"Oh, dia udah datang?"
Dia malah balik bertanya tanpa merasa bersalah. Wajahnya seolah mengatakan itu hal yang seharusnya terjadi.
"Tuh, di depan sama Tommy."
"Suruh masuk dong, Din."
"Ogah." Aku cemberut. Dia tahu nggak sih kalau aku kesal dengan kedatangan perawat itu?
Alisnya yang tebal berkerut saat melihat wajahku. Lalu kekehannya meluncur. "Kamu kenapa sih, Sayang?" tanya pria itu lembut. Tangannya terjulur menarik tanganku. "Kenapa cemberut begitu?"
"Bel, kamu nggak pernah ngomong atau diskusi soal perawat ini ke aku. Apa karena aku di sini cuma numpang?"
Sempat kulihat tatap terkejut di mata Ribel. Hanya sebentar lalu dia tersenyum. "Nggak begitu, Din. Sini duduk." Dia menepuk tempat di sisinya yang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Cover (THE END)
Fiksi UmumBUDAYAKAN FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA WARNING 21+ (MENGANDUNG ADEGAN DEWASA, BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN) Andini merasa penat dengan pernikahannya yang sudah di ujung tanduk. Sudah satu semester dia pisah rumah dengan suaminya. Meski begit...