34. Sunrise

17.2K 885 43
                                    

Di saat menanti kabar dari pihak berwajib tentang penangkapan Bagas, aku malah menemukan kondisinya yang mengenaskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di saat menanti kabar dari pihak berwajib tentang penangkapan Bagas, aku malah menemukan kondisinya yang mengenaskan. Selain  kehilangan mental, pria bajingan itu sebelah kaki dan tangannya tidak berfungsi. Aku nggak tau kekurangan apa lagi yang dia alami selain itu.

Yang pasti begitu yakin dia itu Bagas, tubuhku rasanya kaku. Tidak histeris, tapi malah membeku sampai Nando dan Karina memapahku menjauhi tempat itu. Efeknya, begitu sampai vila aku demam.

"Anjir, si Ibel ke mana sih?! Ponselnya nggak aktif." Nando berkacak pinggang sambil memelototi layar ponsel. Dia bolak-balik di depan aku dan Karin persis setrikaan.

"Mungkin hapenya lowbat," ujar Karin sambil memijat-mijat kepalaku.

"Awas aja kalau dia pulang."

"Ya udah, sih. Ntar juga balik sendiri. Yang penting Dindin ada yang jaga."

Nando berhenti bolak-balik lalu mengarahkan pandangannya padaku. "Din? Gimana? Udah membaik?" tanya dia, kemudian berjalan mendekat dan duduk di sofa single depan kami.

"Demamnya udah turun kok. Tadi kan kita langsung kasih obat," sahut Karin mewakili aku yang masih betah bungkam.

Nando tampak berpikir, pangkal hidungnya berkerut selaras sama bibirnya. Dia bahkan mencubit-cubit dagunya sendiri.

"Gue masih heran deh, kenapa si bangke itu bisa jadi kayak gitu." Nando menatap kami berdua berganti. "Pantas saja polisi nggak bisa menemukannya. Orang-orang sekitar situ bilang sih, dia baru semingguan ada di sana. Apa dia kecelakaan terus kepalanya kelindes truck dan jadi gila?"

"Kalo kepala kelindes truck yang ancurlah. Terus koid," timpal Karin membuat Nando terkekeh.

"Kan otaknya yang ancur dikumpulin lagi, Beb. Banyak tambalan makanya jadi mingser kayak gitu." Nando makin ngaco.

"Dahlah, ngapain sih dipikirin. Itu artinya dia mendapatkan ganjaran yang setimpal. Buat gue itu lebih ngenes sih daripada di penjara."

"Ya pasti, siapa sih orang yang ingin jadi gila? Penjara kan ada kelas-kelasnya. Yang banyak duit bisa beli fasilitas, dah kayak di rumah lagi."

Aku menghela napas, sepertinya mereka bakal terus membahas itu. Dibanding Bagas—yang aku nggak peduli mau mati atau gila—aku lebih memikirkan Ribel yang sampai saat ini belum juga nongol batang hidungnya.

"Lo mending istirahat aja, deh, Din. Ini juga udah malam. Kita juga mau istirahat," ujar Karin, yang hanya kubalas dengan anggukan. Lantas aku beranjak menuju kamar.

"Kira-kira kenapa Bagas bisa jadi gila, ya? Itu keluarganya apa nggak ada yang tau?"

Samar-samar mereka masih membahas soal Bagas. Suara keduanya makin menghilang seiring pintu yang kututup rapat.

Setelah berganti dengan piyama tidur, aku masuk ke dalam selimut dan berusaha memejamkan mata. Tapi tentu saja aku nggak bisa tidur secepat itu. Badanku masih agak demam. Meskipun nggak histeris, ternyata tubuhku masih bereaksi. Aku menyesalkan di saat lagi kayak gini Ribel nggak ada. Padahal aku sangat membutuhkannya.

Under Cover (THE END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang