Melihat progres pemulihan Niko yang cepat membuatku sangat bahagia sekaligus khawatir.
"Din, besok aku mulai kerja lagi ya. Nanti malam aku akan bilang ke Papa"
"Kok cepet Nik? Tunggu kamu pilih dulu"
"Aku sudah sembuh Din. Aku udah bisa beraktivitas normal seperti semula"
Ku tarik tangan Niko untuk duduk di sofa yang ada di kamarku.
"Aku nggak hamil Nik"
"Lalu?"
"Aku ambil tespek Mama diam diam, aku nggak tahu harus gimana lagi Nik. Orangtua kamu minta kita pisah, aku nggak mau kehilangan kamu Nik. Aku sayang sama kamu, aku mulai cinta sama kamu. Apa aku harus kehilangan kamu?"
Niko beranjak dari duduknya lalu ia berjalan menuju jendela.
"Aku nggak tahu harus senang atau kecewa mendengarnya. Aku kecewa karena kamu sudah bohongi banyak orang termasuk orangtuaku. Aku senang karena kamu sudah bisa terima aku dan hubungan kamu dengan orangtua kamu sudah membaik selama aku koma"
Niko balik badan menghadapku.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kamu nggak bisa terus terusan bermain drama"
Akupun menghampiri Niko. Mata kami saling bertemu.
"Buat aku hamil beneran Nik"
"Apa kamu siap jadi seorang Ibu? Apa kamu siap untuk hamil? Apa kamu siap punya anak?"
Aku terdiam, tertunduk tak berani melihat Niko.
"Meskipun Ibu aku minta kita cerai, aku nggak akan pernah tinggalin kamu. Lebih baik kamu jujur ke semua orang Din. Aku nggak bisa hamili kamu sementara kamu belum siap secara mental dan fisik. Kita mulai semua dari awal, kita perbaiki semua sama sama" tutur Niko
"Nggak Nik! Semua orang akan marah denganku. Ibu kamu akan semakin benci denganku"
"Tapi mau sampai kapan kita bohongi mereka?"
"Kalau kamu mau mengakhiri ini artinya kamu harus hamili aku Nik! Buat aku hamil beneran!"
"Aku belum bisa Din. Kamu belum siap sepenuhnya untuk jadi seorang Ibu"
"Jadi kamu mau kita pisah?"
Niko terdiam tak menjawab pertanyaanku. Ia pergi keluar dari kamarku begitu saja tanpa sepatah kata terucap.
Pada akhirnya aku menghabiskan banyak waktuku untuk tidur. Aku capek dan nggak tahu harus bagaimana lagi.
"Din, bangun yuk. Waktunya makan malam" bisik Niko di telingaku
"Duluan aja nanti aku nyusul" pintaku sambil ku tarik selimut yang disingkirkan Niko
Entah ia darimana. Apakah mungkin jika Niko bertemu dengan Shintia?
Niko meninggalkan ku seorang diri di kamar. Dadaku terasa sesak. Rasa sakitnya sungguh luar biasa bahkan lebih sakit dari patah hatiku ketika Mama pergi. Ku pikir Niko akan menerimaku ternyata tidak.
Niko memang menyembuhkan lukaku, ia juga yang merekatkan hubungan ku dengan Papa. Tapi siapa sangka ia juga yang menggores luka lebih dalam di diriku.
Kakiku melangkah turun ke bawah untuk bergabung bersama yang lainnya di meja makan.
"Duduk Din, kenapa bengong? Menunya gk suka? Mau ganti?" tegur Bu Shela ketika aku berdiri mematung di samping Niko
Niko sedikit menggeser kursiku ke belakang, menyiapkan tempat duduk ku.
"Pa, Dini mau cerai dari Niko"
Papa yang tengah menikmati makannya langsung menaruh sendoknya.
"Tenang Pa, emosi Dini lagi naik turun" Bu Shela berusaha menenangkan Papa
"Kamu udah dewasa, kalau ada masalah cari jalan keluarnya. Kamu nggak mikirin cucu Papa? Niko buat kesalahan apa sampai kamu minta cerai?" tegur Papa
"Maaf Pa, Dini moodnya lagi nggak stabil" timpal Niko
Mendengar penuturan Niko aku langsung beranjak dari tempatku dan kembali lagi ke kamar sambil menahan rasa laparku.
"Dini, kamu kenapa sih?!" tanya Niko yang menyusulku ke kamar
"Bukannya kamu mau kita pisah? Kamu minta aku buat jujur ke semua orang tentang kebohonganku bukan? Aku mau lakuin apa yang kamu mau Nik! Setelah ini kamu bisa bebas dengan Shintia. Aku nggak akan halangi kalian lagi. Makasih ya buat satu tahunnya"
"Kamu ngomong apa Din? Siapa yang mau pisah? Bukannya kita sepakat untuk memperbaiki semuanya dari awal?"
"Siapa yang sepakat? Kamu nolak ajakan aku Nik. Kamu nggak ada usaha buat pertahanan aku"
"Aku nggak nolak buat hamilin kamu Din. Aku perlu memastikan kesiapan kamu dulu. Aku nggak mau menyiksa kamu dengan keegoisan aku. Hamil, melahirkan, menjadi ibu itu nggak semudah yang kamu pikirkan Dini. Waktu kamu akan sepenuhnya buat anak kamu, apa kamu siap? Kamu sendiri tidak pernah menyentuh Zeva bagaimana dengan anak kita nanti?" jelas Niko
Aku terdiam tidak menyangkal. Memang benar apa kata Niko. Di rumah ini ada bayi tapi aku sama sekali tidak pernah memegang Zeva.
"Lalu aku harus apa?" tanyaku dengan nada lirih bahkan hampir tak terdengar
"Belajar. Aku akan bantu kamu. Kita sama sama belajar disamping itu kita juga siapkan mental. Terlebih kamu. Kamu perlu mental yang kuat dan tenaga yang banyak. Dan aku minta satu hal sama kamu, jangan curigai aku sama Shintia. Kami nggak ada hubungan apa - apa. Kalaupun aku keluar rumah aku kerja dan kuliah. Aku akan tetap kerja part time, punya anak harus siap finansial juga. Aku nggak ingin bergantung pada Papa kamu. Jadi aku minta kamu juga bantu aku"
Senyumku kembali terukir.
"Kamu nggak akan selingkuh atau cari wanita lain diluar sana?" tanyaku
Niko memegang kedua tanganku.
"Lihat aku Din. Aku Niko bukan Barra. Aku cuma mau menikah sekali seumur hidupku. Perlu kamu ketahui. Kamu adalah cinta pertama dan terakhirku. Meskipun awalnya kamu menyebalkan tapi kamu berhasil membuatku jatuh cinta"
Ku peluk Niko dengan erat.
"Makan ya Din, aku ambilin di bawah. Kamu makan temeni aku nugas. Tugas aku banyak banget selagi aku di rumah sakit. Tadi aku keluar ke kampus bukan ke rumah Shintia"
Yap. Aku menemani Niko mengerjakan tugasnya hingga larut malam. Buktinya camilan yang dibeli Niko sudah habis setengah toples yang kami makan.
"Nik, tidur yuk udah malam. Jangan terlalu diforsir" ajakku
Niko menutup laptop dan mengemasi semua bukunya dari atas kasur.
"Berdoa dulu Dini" ujar Niko
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER MARRIAGE
Short StoryMenikah. Setiap orang juga ingin menikah. Menikah dengan orang yang dicintainya. Menikah di waktu yang tepat. Menikah saat sudah siap. Namun akankah keputusanku ini salah? Aku menikah dengan gadis yang tidak ku kenal. Aku menikah saat aku belum sepe...