17. Serunna: Perihal Merelakan

16.1K 1.4K 165
                                    

Enjoy!

******

Aku meremas cangkir yang berisi teh hangat yang kugenggam.

"Minum, nggak aku racunin."

Suara Ziadne yang mengalun membuatku menoleh ke depan, sosok itu duduk bersebrangan denganku.

Saat melihat keadaan tubuhku yang gemetar dia menuntunku menuju warung soto yang letaknya sangat dekat dengan posisi kami, dan aku, tanpa tenaga tak bisa menolak apalagi melawan.

"Serunna, kenapa kamu melihatku seakan-akan aku tokoh antagonisnya?"

Aku terkesiap, semakin mengeratkan cengkramanku pada cangkir yang kugenggam.

"Serunna, waktu pertama kali ketemu kamu lagi aku seneng, karena sejak pindah ke kota aku nggak menemukan pertemanan seperti pertemanan kita waktu SMA. Aku, tulus bantu kamu yang cari uang di Jakarta, aku tawarin kamu tempat tinggal, Serunna aku tulus membantu kamu tapi kenapa kamu ambil satu-satunya yang aku punya?"

Mataku memanas, dadaku terasa sesak. Perasaanku bingung, aku tidak mampu menjelaskan mengapa rasanya ada ribuan tangan yang menekan dadaku hingga aku kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen.

"Akh..." Aku meringis saat pinggangku terasa kram, perutku terasa kencang. Aku menarik satu napas panjang dan mengeluarkan secara perlahan.

"Aku sudah bilang minum, aku nggak sejahat itu membunuh anak Deskara."

Dia tau...

Ya, memang seharusnya tau, bukan?

Aku menurut, aku meminum teh hangat itu dan pergerakanku tak pernah lepas dari pengawasan Ziadne.

"Serunna, perasaan sedih, sakit hati, salah, kecewa, itu semua wajar bukan ada di setiap hidup manusia? Terlepas dari bagaimana manusia itu menjalankan hidupnya, lurus atau menyimpang, perasaan-perasaan itu boleh bukan dirasakan setiap manusia?"

Aku mengangguk perlahan dengan satu tetes air mata yang sudah menlucur turun dengan bebas.

"Itu... yang aku rasain sekarang, Serunna. Bukan cuma kamu yang sakit, bukan cuma kamu yang susah."

Aku merunduk membiarkan air mataku semakin turun ke bawah, aku sejahat itu ya?

"Aku... "

Aku bahkan tidak tau ingin mengatakan apa, aku hanya ingin pulang.

"Serunna, mungkin kamu beruntung karena kamu perempuan dan kamu mengandung anak Deskara, tapi Serunna, gak ada yang lebih beruntung dari mendapatkan cinta Deskara yang ga ada habisnya dan aku yang mencintai dia lebih dari apapun itu," Ucap Ziadne sambil tersenyum kecil.

Aku meremas kesepuluh jemariku erat, erat sekali sampi ujung kukunya meninggalkan bekas pada telapak tanganku.

Ziadne menatapku dalam, dia tidak menodongkan pisau tapi kenapa di sini rasanya perih?

"Dan, kamu tau Serunna? Rasa sakit yang paling sakit adalah saat ada seseorang yang membuat kamu merasa istimewa tapi seseorang itu bertikai dengan dirinya sendiri karena bukan rumah seperti kamu yang dia mau." Ziadne beranjak dari duduknya, tingginya menjulang di hadapanku. "Paham sekarang?" Lanjut Ziadne lagi.

Aku mendongak dan menatap Ziadne yang menatapku tanpa ekspresi.

"Serunna, perlu kamu tau, kalau semisal hidup ini selalu tentang menukar sesuatu yang kita punya dan kalau kamu tanya apa saja yang sudah aku tukar, aku bahkan sudah menukar segalanya, Serunna, hanya untuk membuat Deskara ada di sampingku. Dan, aku bahkan nggak akan berpikir dua kali untuk menukar nyawaku untuk membuat Deskara bahagia. Tapi, Serunna pertanyaanku satu, apa Deskara benar-benar bahagia di samping kamu?"

Tenggelam Dalam Dasar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang