Bersama dengan Bara, kini Inara sedang menghadap kedua orangtuanya. Sejak tiba ia terus menunduk ketakutan, bersiap untuk menerima kemarahan sang Ayah. Namun, sejak tadi keadaan masih hening, belum ada yang membuka suara. Hanya terdengar hembusan nafas berat yang saling bersahutan.
Inara sadar sejak tadi tatapan sang Ayah tak lepas padanya yang kini duduk bersebelahan dengan Bara. Inara meletakan tangannya dipangkuan, memilin jemarinya gugup.
"Inara!" Tubuh Inara seketika menengang mendengar suara berat sang Ayah. Akhirnya tangisan yang sejak tadi coba ia tahan keluar juga. Tetesan air mata perlahan membanjiri wajahnya tapi Inara masih coba menahan suara isakkannya.
Selama ini ia selalu berusaha untuk tak membuat kedua orangtuanya kecewa ataupun marah kepadanya, maka dari itu sejak dulu Inara sama sekali tak pernah menentang perintah keduanya. Sekarang saat rasa bersalah itu tiba-tiba muncul, ia pasti sudah sangat membuat kedua orangtuanya marah dan juga malu.
Tak bisa menahannya lagi suara tangisan Inara mulai terdengar jelas. Perempuan itu bangkit mendekati sang Ayah, menangis sambil bersimpuh dibawah lutut Ayahnya.
"Maafin aku, Yah. Aku enggak mau tunangan sama Tristan. Aku enggak suka dia" isak Inara, memeluk erat kedua kaki Ayahnya.
"Berdiri!" Perintah Radi dengan suara tegas. Namun Inara masih bergeming ditempat.
"Ayah bilang berdiri Inara!" Kali ini Radi mengatakannya lebih tegas. Dengan tubuh masih bergetar ketakutan Inara akhirnya berdiri, sambil memilin jemari tangannya ia masih terus menunduk tak berani bertatapan langsung dengan wajah sang Ayah.
"Kenapa enggak bilang dari awal, waktu itu kamu ngangguk-ngangguk terus setiap Ayah tanya" ucap Radi, melembut. Tak tega melihat putrinya ketakutan karenanya.
"Aku takut, Yah" cicit Inara.
Selain tak mau membuat kedua orangtuanya kecewa, saat itu Inara berada di titik ia mulai putus asa untuk mendapatkan Bara. Awalnya ia kira dengan menerima perjodohan yang kedua orangtuanya siapkan ia bisa melupakan Bara namun ternyata tidak.
Tak tega melihat Inara menangis tersedu-sedu seperti itu, Bara sudah bersiap berdiri mendekati Inara tapi ia kalah cepat dengan Ayah wanita itu. Radi meraih tangan Inara, lalu ia bawa Inara agar duduk disebelahnya. Dengan penuh kelembutan Radi mendekap erat tubuh Inara yang masih bergetar ketakutan. Radi pahan Inara itu sangat perasa.
"Dengar, Ayah dan Bunda sayang kamu, Nak. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Ayah sudah semakin tua, Ayah ingin ada laki-laki yang bisa Ayah percaya menjaga anak Ayah" ujar Radi, mencoba memberi pengertian. Anita juga ikut merapat mendakati anak dan suaminya, tangan perempuan itu terulur mengelus lembut bahu putrinya. Semalaman Anita dibuat panik dengan kepergian putri manjanya, beruntungnya Inara kembali dengan selamat.
"Aku enggak mau sama Tristan, Yah"
"Iya, sayang. Kak Rani yang akan menikah dengan Tristan" ucap Anita, kini Inara berbalik memeluk erat tubuh Bundanya.
"Jadi, kamu yang sudah bawa kabur putri saya, Bara?" Tanya Radi, menatap Bara tajam.
Tentu Radi mengenal baik siapa Bara, ia juga tahu jika Bara adalah dosen putrinya di kampus namun yang tak Radi tahu adalah jika selama ini putrinya sendiri tergila-gila pada laki-laki itu.
"Iya!" Balas Bara, tanpa elakan. Memang semalam ia yang sudah membawa Inara pergi.
"Apa maksud semua itu?"
"Sebagai bentuk jika saya juga tidak setuju Inara bersama dengan laki-laki lain, selain saya"
"Jadi, apa yang kamu mau? Kamu mau putri saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 21+
Short StoryWarning! Khusus area dewasa dedek-dedek gemush silakan menyingkir dulu Kumpulan cerita dewasa murni hasil pemikiran sendiri!