Rania sudah tak memiliki tenaga bahkan sekedar untuk menolak pelukan yang Tristan berikan padanya. Mereka kini sedang berada di dalam kamar tamu yang ada di rumah keluarga Tristan. Laki-laki itu memilih membawa Rania ke rumahnya.
"Ayah, Tan" isak Rania, mencengkram erat kaus yang Tristan pakai. Suaranya parau bahkan kepalanya sudah berdenyut sakit karena kebanyakan menangis.
Selain mengakui perbuatan mereka pada kedua orangtua Rania, tadi Tristan juga sudah jujur pada kedua orangtuanya. Diiringi tangisan Rania, Tristan menceritakan semua perbuatan bejatnya di masa lalu kepada kedua orangtuanya. Termasuk tentang dirinya yang dengan tega menggugurkan kandungan Rania dengan tangannya sendiri.
Sama seperti orangtua Rania, kedua orangtuanya juga marah besar tapi keduanya masih berbaik hati mau menerima maaf mereka. Bahkan kedua orangtua Tristan yang memaksa Rania tetap tinggal di rumah mereka.
"Maaf, gara-gara aku semuanya jadi rumit" bisik Tristan, mengeratkan dekapannya tapi tak sampai membuat Rania kesakitan. Ia sadar semua ini terjadi karena ulahnya, lagi-lagi ia harus melihat wanita yang ia cintai menangis karenanya.
****
Hari masih sangat gelap tapi Rania sudah berada di rumah orangtuanya. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan mata sembab karena semalaman terus saja menangis. Dengan gelisah Rania menunggu di depan kamar kedua orangtuanya yang masih tertutup rapat. Rania tadi sudah bertemu dengan sang Bunda yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, Rania sudah bersujud memohon ampun pada Bundanya itu. Mereka sempat menangis bersama disana. Dari Bundanya juga Rania tahu bahwa sang Ayah masih berada di dalam kamar.
Tangan Rania tertahan di udara saat ia mencoba mengetuk pintu kamar kedua orangtuanya. Rania yang ragu tetap bergeming di tempat. Sampai tak lama pintu dihadapannya terbuka dari dalam. Rania yang kaget dengan refleks melangkah mundur.
Tatapan Rania seketika bertemu dengan wajah sang Ayah yang menatapnya datar. Sorot mata dari laki-laki nomor satu dihidupnya itu sudah tentu menyimpan banyak kekecewaan. Mereka sempat bertatapan selama beberapa detik sampai Radi yang memutus kontak mata mereka. Tak ada lagi tatapan penuh kehangatan yang Rania lihat dari sorot mata sang Ayah setiap menatapnya.
.
"Ayah..." Rania berucap lirih. Meski sedikit ragu ia menahan pergelangan tangan sang Ayah yang akan beranjak menggunakan kedua tangannya. Ia perlu bicara dengan Ayahnya. Dirinya tak mau hubungan mereka terus seperti ini. Ia tak bisa terus dimusuhi oleh pria nomor satu dihidupnya itu."Aku mau bicara, Yah. Aku mohon jangan menghindar"
"Maaf sudah sempat buat Ayah kecewa. Aku sayang Ayah. Jangan musuhi aku"
Mereka sama-sama terdiam, hingga Rania merasakan sang Ayah melepaskan perlahan tangannya yang masih memegang pergelangan tangan Ayahnya, perlahan.
Tanpa mau menatap wajah putrinya, Radi berjalan ke arah sofa terdekat. Ia duduk disana, lalu dengan pandangan matanya ia menyuruh Rania maupun Tristan duduk.
"Duduk!"
"Sebelum kamu kasih pembelaan untuk semua hal buruk yang kamu lakukan, dengarkan Ayah bicara!"
"Apa yang tidak Ayah beri untuk kamu? Kamu mau kebebasan Ayah berikan, tapi kenapa ini balasan yang kamu kasih untuk Ayah?"
"Kamu tahu semua hal yang Ayah lakukan itu untuk kebaikan kamu juga. Kamu, Abang dan Nara itu titipan Ibu kalian yang harus Ayah jaga"
"Jujur Ayah kecewa!"
"Ayah benar-benar kecewa" Rania kembali tak bisa menahan isakannya saat melihat satu titik air mata lolos dari wajah sang Ayah.
"Maaf, Yah"
"Selain merusak diri kamu sendiri, kamu juga merusak kepercayaan yang sudah saya kasih, Rania!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 21+
Short StoryWarning! Khusus area dewasa dedek-dedek gemush silakan menyingkir dulu Kumpulan cerita dewasa murni hasil pemikiran sendiri!