[ Area 15+]
[Sequel dari Sera's Transmigration: Perfect Mother]
[Cerita ini akan mendetailkan tokoh Alrik]
[Disarankan baca Sera's Transmigration: Perfect Mother terlebih dahulu sebelum membaca cerita ini]
Dua hari sepeninggalan Sera dari dunianya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kau bisa berdiri? Ada apa dengan mu? Kau tidak mabuk." Detektif perempuan kembali bersuara.
Alrik beranjak dari duduknya. Mengikuti tarikan tak terlalu kuat yang dibuat detektif perempuan pada lengan seragamnya.
Tidak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di kantor polisi terdekat. Alrik kembali mengedarkan pandangan. Menilik setiap sudut kantor yang baru dia sambangi.
Gedung-gedung yang dia lalui selama diperjalanan ke kantor polisi ini, kenapa terlihat sangat kampungan semua? Mulai dari arsitektur bangunannya sampai interiornya. Baru kali ini Alrik melihat desain sekolot ini.
Ada di mana sebenarnya dia?
"Permisi, ini ada di mana? Kotanya. Apa kita ada di pinggir kota?"
Detektif perempuan itu mendongakan wajahnya. Meninggalkan sejenak buku yang tengah dia tekuni. "Apa maksud mu di pinggir kota? Kita ada di ibu kota."
"Ibu kota? Tapi kenapa aku baru lihat gaya gedung-gedung di sini? Apa maksud mu kita ada di pinggiran ibu kota?"
"Bocah gila ini." Detektif perempuan menyentak kasar pulpen di genggamannya.
"Hei, apa kau gila? Otak mu tak waras? Apa kepala mu itu habis terantam keras? Siapa nama mu? Berasal dari mana kau? Siapa nama orang tua mu?"
"Alrik Leander. Aku tinggal di kompleks tepat di tengah kota. Di jantungnya ibu kota. Ayah ku Eidef Leander, dan nama Ibu biologis ku Azura Margaret Leander."
"Omong apa kau? Jantung ibu kota? Jantung Ibu kota, kota ini adalah istana presiden dasar bocah berandal!"
Alrik mengerjap bingung. Kenapa dari tadi dia selalu dipelototi detektif?
"Sebutkan nomor telpon orang tua mu." Suruhnya dengan nada otoriter. Menghadapi remaja dengan tampilan aut-autan seperti ini dan dengan keadaan ling lung sangat menyebalkan bagi Dieta.
"08-------"
Cukup lama Dieta menunggu panggilan tersambung. Namun ternyata nomor yang Alrik sebutkan tak terdaftar.
"Kau mencoba membohongi ku? Nomor ini tidak terdaftar berandal."
"Benarkah? Tapi itu nomor Ayah ku. Mungkin kah dia ganti nomor tanpa sepengetahuan ku?"
Dieta mendesis kesal. Mencoba menahan umpatannya.
"Sebutkan nomor Ibu mu. Cepat."
"O8-------"
"Berandal sialan! Kau masih mencoba menipu ku?! Nomornya juga tidak terdaftar dasar!"
Alrik sepenuhnya bengong. Lantas apa orang tuanya mengganti nomor mereka tanpa sepengetahuan dirinya? Kenapa? Apa dia melakukan kesalahan? Alrik rasa tidak.
"Detektif, coba sekali lagi. Aku rasa ada nomor yang kau lewatkan."
"Apa maksud mu?!"
"Atau mungkin aku yang melewatkan nomornya. Mari coba satu kali lagi."
Dieta menghela napas kasar. Menyerahkan telpon kabelnya pada Alrik. Membiarkan remaja itu yang menekan angka-angka nomor telepon walinya.
Alrik melirik horor pada Dieta yang masih menatapnya setajam silet. Dieta benar, perempuan itu sudah sangat teliti menekan tiga nomor yang dia sebutkan. Dia juga tidak melewatkan satu nomor pun saat menyebutkannya tadi. Nomor kedua orang tuanya, memang sama-sama tidak terdaftar.
"Kau pikir ini lucu? Kau pikir pekerjaan ku hanya mengurus mu?! Aku masih harus kerja di lapangan dasar bocah!"
Cecaran itu, apa detektif memang selalu begini? Terlihat sama persis di film yang sering dia lihat.
"Tapi aku serius. Itu memang nomor mereka. Bahkan dua minggu lalu nomor itu masih aktif. Aku tak bohong." Ucapnya sungguh-sungguh.
"Dia minggu? Keluarga apa yang tak saling menghubungi selama lebih dari tiga hari?!"
Alrik menghela napas lelah. "Aku tahu, keluarga ku memang cukup unik. Aku lebih dari sadar. Tapi... Bisa kah aku minta segelas air? Tenggorokan ku terasa sangat kering. Rasanya seperti sebentar lagi aku akan mati kehausan."
Dieta tersenyum remeh. Matanya kemudian bergulir turun menatap bibir kering Alrik. Lalu kembali naik menatap kantung mata Alrik. Ouhh... Sepertinya remaja urakan di depannya sedang tak berbohong dengan kondisinya saat ini.
"Nanti. Aku akan memberikan mu air dingin setelah kau berhasil menelpon Ibu mu."
Alrik mendesah kesal. "Kau tahu, nomornya juga tidak terdaftar. Kau mau aku benar-benar mati?"
"Makanya lakukan dengan benar dasar bocah."
"Ahh... Jadi begini kerja seorang detektif? Selain menangkap pelaku kejahatan, ternyata mereka juga senang mencecar dan menyiksa masyarakat sipil."
Sindiran Alrik membuat Dieta gentar. Bagaimana pun citra polisi dipertaruhkan di dalam sindiran Alrik.
"Kau bilang yang tadi kau telpon adalah Ibu biologis mu. Berarti kau memiliki Ibu lain selain Nyonya... Siapa tadi namanya? Azura?"
"Hmm." Alrik mengangguk malas. Tubuhnya benar-benar terasa tak bertenaga.
"Maka telpon Ibu mu yang lainnya. Jika nomornya tersambung, aku akan memberikan mu segelas, tidak, tiga gelas minuman dingin."
Sinar mata Alrik kembali terlihat. Dia menemukan harapan baru. "Benar ya? Kau sudah berjanji pada ku!"
"Dasar bocah. Cepat telpon Ibu mu yang lainnya. Waktu adalah emas!"
Alrik menggigit bibir dalamnya. Tangannya sudah siap menekan tombol-tombol angka di depannya. Namun kemudian harapannya surut. Mencoba menelpon nomor Sera dari dunia lain? Bagaimana mungkin bisa tersambung? Dia sudah mencobanya ratusan kali, namun nomor itu tak pernah bisa tersambung. Selalu operator yang menjawab, mengatakan bahwa nomornya tidak terdaftar.
Itu jelas, karena nomor Sera tidak berasal dari dunianya.
"Kenapa diam saja? Sudah kehilangan harapan untuk hidup?"
Suara Dieta bagai mendorong Alrik menekan tombol-tombol angka. Baiklah, mari coba saja. Siapa tahu ada keajaiban yang datang padanya.
Sekali ini saja, Alrik mohon Ma. Sekali ini saja.
Tut... Tut... Tut...
Mata Alrik membulat saat mendengar dering di telpon nya. Apa ini? Ada suara dering, bukan suara operator yang biasanya dia dengar tiap kali menghubungi nomor ini.
"Kenapa? Tidak tersambung juga?"
"Tunggu sebentar. Ada nada deringnya."
"Benarkah? Itu berarti Ibu mu yang satunya tidak mengganti nomor telponnya. Selamat, kau tidak dibuang dasar bocah berandal."
Alrik mendelik mendengar umpatan Dieta. Sepertinya para detektif memang hobi sekali mengumpat seperti itu.
Angkat. Aku mohon angkat. Aku sedang kritis Ma.
Tut... Tut... Tut...
"Halo?"
Mata Alrik sepenuhnya terbuka saat suara lembut seorang gadis menyapanya dari sambungan telpon.