Berpikir kalau apa yang dikatakan lelaki pirang itu adalah lelucon modus. Dia tidak mengindahkan sama sekali sebelumnya. Maka, untuk menghargainya adalah memberikan senyuman. Meskipun saat itu tidak tahu bagaimana caranya tersenyum, sudah benar atau tidak.
Namun ternyata, Naruto Uzumaki menepati janjinya.
Sudah genap dua minggu, lelaki itu rutin datang berkunjung di waktu istirahat. Hinata tidak tahu berapa lama memakan waktu untuk ke toko rotinya. Gedung agensi Amuse Inc cukup jauh dengan berjalan kaki. Dia juga tidak pernah melihat lelaki itu membawa mobil.
"Aku bosan memilih roti terus," kata Naruto sembari memegang nampan dengan capit di tangan kanannya. Sesekali mengintip ke arah dapur.
"Hei Pria bule, kau berharap Hinata memilihkan roti untukmu ya?" Sui tersenyum mengejek. "Sudahlah ... kau pilih saja sendiri."
Naruto mendengkus kesal. Meletakkan nampan dan capit ke meja kasir. Tidak berselera memilih roti. Tidak berlangsung lama saat orang yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar. Suasa hati pun ikut berubah.
Hinata mengelap tangannya dengan apron, lalu meregangkan otot tubuh. "Jugo, persediaan roti sudah aku catat. Sisanya aku serahkan padamu, ya. Terimakasih."
Jugo keluar dari meja kasir, masuk ke dapur bersama dua pegawai lainnya. Hinata memandang setiap etalase yang meyisakan dua atau tiga roti. Lalu melihat arloji di tangan, waktu makan siang masih berjalan dan sepertinya toko akan tutup lebih awal.
"Sepertinya persediaan roti kembali normal," kata Sui. "Sesekali cobalah jalan-jalan, atau kau butuh kencan buta?" Tidak bermaksud menyinggung, pula tidak mau merubah suasana hati gadis itu. Maksud dan tujuannya adalah baik. Meskipun tidak tahu apa yang membuat kondisi Hinata lebih baik dari sebelumnya.
"Tidak bisa, beberapa hari lagi Ibu meminta pesanan padaku."
"Wow, sudah lama aku tidak melihat Bibi."
Tidak tahu apa yang harus dibicarakan, entah mengapa berada di tengah-tengah membuat Naruto merasa asing. Ia pun berdeham, sehingga membuat mereka menatap ke arahnya.
"Kau tidak kembali ke kantor?"
"Apa kau mengusirku?" Kesal karena perkataan Hinata barusan. Naruto bermuram durja ke arah Hinata. "Sekarang ini aku sudah menjadi pelanggan setia di toko roti milikmu. Apa kau tidak berniat memberi bonus padaku?"
"Sudah kuduga kau mengincar gratisan. Apa kau akan dipecat dari perusahaanmu?" Berdecak lidah. Lalu mengambil nampan dan capit menuju etalase, mengambil beberapa roti untuk diberikan Naruto.
Naruto yang melihat itu mendadak panik. Takut kalau dia salah bicara. Sui menyenggol lengannya dengan ekspresi menahan tawa. "Kau meledekku, ya?"
"Ambillah," kata gadis itu sembari mendorong nampan kayu ke arah lelaki pirang itu.
"Eh tunggu, kau marah padaku? Aku hanya bercanda." Naruto mendorong kembali, menyatukan kedua telapak tangannya.
Gadis itu mengedipkan mata beberapa kali. Bingung karena sikap panik lelaki tersebut. "Kenapa? Aku hanya bercanda. Kau tidak perlu serius." Tergelak dengan sikap aneh Naruto.
Sui juga melakukan hal yang sama, tertawa bebas bahkan jauh lebih keras. "Sulit untuk membacanya, butuh beberapa tahun kau akan mengerti," bisiknya. Sebab dia pernah berada di posisi serupa.
Sulit membedakan bagaimana selera atau pun bentuk gurauan gadis itu. Dan sulit pula untuk membaca hati dan pikiran Hinata.
Selagi mereka tertawa, Naruto mengamati gadis itu. Sui menangkap pergerakan yang begitu intens. Dia mengambil es kopi yang dibeli dari toko sebelah, sembari menikmati mata biru yang tenggelam pada warna abu-abu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Enmeshed Yore
FanfictionKalau tahu akan sangat menyakitkan seperti ini, mungkin dia tidak akan datang ke acara pesta pernikahan mantan kekasihnya. Melihat kumpulan para gadis yang begitu semangat ketika sang mempelai wanita melempar bunga, Hinata hanya berdiri jauh sembari...