Part 9. Problem

96 31 20
                                    

"Yang sampai duluan dapat traktiran!!" Teriak Alletha sembari keluar dari mobil dan berlari menuju ke dalam rumah megah mereka.

Agatha yang baru saja ikut keluar dari mobil dari area parkiran hanya menggeleng melihat tingkah laku adeknya itu.

"Assalamualaikum, aku pu-"

Plakk

"-Hebat! putri mu ini Anitha, lihat! dia mulai keluyuran tidak jelas semenjak dia SMA!" Tuduh Anggara murka.

"Ayah apa-apan!" Ucap Agatha yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dia marah ketika melihat dari arah luar saat adeknya itu di tampar keras oleh sang Ayah.

"Kau tidak perlu membelanya Agatha!" Ucap sang Ayah penuh penekanan.

"Dia pergi bersama ku dan pulang bersama ku juga kan? Kenapa hanya Letha yang Ayah tampar? Kenapa aku tidak di tampar keras juga?" Bela Agatha.

Anitha hanya menunduk tak berani menjawab, begitu juga dengan Alletha yang hanya menangis dengan kepala menunduk kebawah sambil memegang pipi nya yang sedikit robek akibat tamparan keras dari sang Ayah.

"Ayah sungguh kejam! Tidak melihat bahwa putrinya sedang kesakitan karena ulah Ayahnya sendiri! Hati ku juga ikut sakit, Yah!  Dia adek aku! Adek aku satu-satunya" Ucap Agatha dengan berdurai air mata, dia menunjuk-nunjuk ke arah Alletha tapi pandangannya tetap ke arah sang Ayah.

"Kak, udah! Aku gakpapa, kasihan Ibu" lirih Alletha melerai. Dia lantas menatap sendu ke arah Anitha yang hanya terdiam. Hal ini sudah tak asing di keluarga mereka. Bertengkar dan tidak ingin saling memahami adalah penyebab semuanya.

Agatha menghela napas kasar, dia memejamkan matanya sejenak. Saat setelah itu dia lantas memanggil salah satu pembantu yang sudah mengabdi di keluarga Anggara selama sebelas tahun.

Yang di panggil pun datang, Bibi Karla. Dia lantas menunduk hormat kepada sang kepala keluarga setelah itu ke Anitha dan ke arah dua remaja bersaudara itu.

"Bi, tolong antar Ibu dan Letha ke ke kamarnya, yah bi. Aku masih ada urusan sama Ayah." mohon Agatha.

Bi Karla mengangguk. "Baiklah den, ayok Nyonya, ayok adek Alletha" kata Bi karla sambil membantu nyonya rumah itu berjalan dengan pelan.

Sungguh tubuh Anitha sangat lemas. Membuat Alletha juga turut merasakan kesedihan yang di alami Ibunya itu. Sepanjang menaiki puluhan anak tangga, tak henti-henti ibunya menghela napas samar.

Sedangkan di area ruang tamu pertama, masih ada Agatha dengan sang Ayah yang hanya terdiam tidak berniat membuka suara. Agatha menatap Ayahnya penuh amarah, dia melangkah maju ke depan niat ingin mensejajarkan tingginya dengan sang Ayah.

"Ayah aku mohon! Jangan buat Ibu dan Adek aku menderita! Tak pernah Ayah berikan mereka senyuman yang indah, yang Ayah berikan hanya tangis yang memilukan" ucap Agatha memohon kepada sang Ayah.

Yang di ajak bicara hanya diam sambil menatap datar sang anak tanpa niat membalas permohonan anaknya itu.

Hening beberapa saat..

Tak lama setelahnya Anggara membuka suara. Agatha dengan siap mendengar apa yang ingin Ayahnya itu sampaikan tanpa ada satupun kalimat yang terlupakan.

"Itu adalah konsekuensi atas pernikahan ini" ucap Anggara dengan entang membuat Agatha menyerngit heran.

Melihat hal itu membuat Anggara tertawa kecil melihat ekspresi dari putra nya itu. "Itu adalah akibat dari pernikahan paksa ini, biarkan saja Anitha menderita karena aku tidak mencintainya" ucap Anggara membenarkan kalimatnya.

Hal itu membuat emosi Agatha kian memuncak, nafasnya naik turun, wajahnya memerah padam, malam ini dia seharusnya beristirahat lebih cepat tapi karena sang Ayah ada membuatnya harus menunda waktu rehatnya.

QueenAgatha [Bertahan Untuk Hidup]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang