:: Bab XXIX ::

216 34 11
                                    

Tut... Tut... Tut...

"Halo, Bu Guru. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ben, dimana?"

"Di markas. Kenapa? Mau ajak saya nge-date?"

"Ih, stress. Tolongin, dong. Ini—"

"Kamu share location aja. Saya ke sana sekarang."

Seingat Rakhel, perjalanan dari markas-nya Chandra ke Jakarta bisa menghabiskan sekitar satu setengah jam. Tapi, orang yang ditelfonnya tadi berhasil sampai bahkan kurang dari tiga puluh menit. Terhitung sejak sambungan telfon itu terputus.

Memarkirkan mobil Jeep-nya secara sembarangan, Ben turun dan berlari begitu melihat Rakhel. Dia belingsatan memeriksa kondisi gadis itu, imbas dari permintaan tolong yang Rakhel ucapkan di telfon.

"Kamu kenapa? Ada yang gangguin kamu? Ada yang rese sama kamu? Ada yang bikin kamu luka?"

"Om Ben-ten! Bukan Kakak Rakhel yang sakit!"

Teguran Nandra memancing perhatian Ben. Pria dengan wajah orientalnya yang khas tersebut menjeling kebingungan. "Kok, Nandra ada di sini?"

"Duh, gak usah tanya itu sekarang!" sela Rakhel kemudian. Ia lekas menarik Ben menuju tempat dimana Chandra duduk. Kondisi pria itu masih lemas. Tapi, berulang kali Rakhel mengajak, dia tetap menolak ke rumah sakit bersamanya. Chandra bilang, lebih baik dia pulang ke markas dan istirahat di sana dari pada harus ke rumah sakit.

"Saya gak tahu Chandra kenapa. Tadi, pas kita lagi mau makan, dia ngelamun terus tiba-tiba kayak sesak napas gitu. Saya takut dia kenapa-kenapa, Ben."

Sebagai tangan kanan Chandra dan yang paling dekat dengan pria itu, biasanya Ben akan langsung bertindak ketika tahu sang Kapten kenapa-kenapa. Namun kali ini, ia malah terdiam memandangi Rakhel yang sedang menggenggam tangan Chandra dengan erat sementara wajah gadis itu menunjukkan kepanikan. 

"Ben, kok, diam?!" Rakhel menegur Ben dengan keras saat ia melihat pria itu malah melamun. "Ayo, ajakin Chandra ke rumah sakit! Dari tadi saya udah ajak dia, tapi dia nolak."

"Kenapa kamu telfon saya? Padahal adiknya Bang Chandra jauh lebih dekat dari sini. Dia juga pasti bisa ngerti kondisi kakaknya tanpa perlu repot dibawa ke rumah sakit," balas Ben, dengan tidak terduga bernada ketus. Jujur, Rakhel tak menyangka Ben akan menjawabnya seketus itu. 

Tapi di satu sisi, Rakhel membenarkan pernyataan Ben. Ia bisa menghubungi Aidan yang pasti akan lebih memahami keadaan Chandra karena dia adalah dokter sekaligus adik kandung Chandra. Terlebih, posisi pria itu juga di Jakarta. Tidak seperti Ben yang harus melewati kawasan perbatasan hanya untuk sampai ke sana.

"Y-ya... habisnya saya cuma kepikiran kamu yang bisa bantu. Namanya juga manusia. Suka lupa," bela Rakhel untuk dirinya sendiri.

"Iya, suka lupa. Termasuk lupa kalau orang yang kamu khawatirin ini yang udah nyakitin kamu."

"Ben, kok, gitu ngomongnya?!—"

"Gak usah protes. Emang gitu kenyataannya. Bukain aja, tuh, pintunya. Biar saya yang papah Bang Chandra."

Meski masih terlilit kebingungan berkat ucapan Ben yang melenceng kemana-mana, Rakhel tetap menuruti titah pria itu. Ia membukakan pintu agar Ben bisa memasukkan Chandra ke dalam mobil.

Setelah mendudukan Chandra dan memasangkan sabuk pengaman untuknya, Ben hendak menutup pintu. Akan tetapi, ditahan oleh Rakhel yang baru teringat akan satu hal.

Tanpa menjelaskan apa pun, ia melepaskan kemeja Chandra yang basah dan bernoda coklat dari tubuh pria itu. Untungnya, Chandra masih memakai dalaman kaus sehingga Rakhel tak perlu takut kalau tubuh pria itu akan terekspos. 

Romance is Not EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang