09.

153 15 2
                                    

Pukul 16.00 bel pulang berbunyi nyaring memasuki gendang telinga Tamara yang masih termenung sejak 30 menit lalu.

Tamara bangkit, merapikan penampilannya dari atas hingga bawah, lalu keluar dari kamar tersebut menuju kamar mandi untuk cuci muka.

"Kak Jeanine keren banget anjir!"

"Iyalah, Kak Jeanine gitu loh!"

Tamara mendengarkan percakapan dua adik kelas yang sedang melakukan touch-up disampingnya.

"Katanya dia bakal jadi kapten buat lomba lawan Smansa besok. Lo mau nonton gak?"

"Nonton lah! Gue mau nonton Kak Jeanine!"

Tak mendengar panjang lebar lagi, Tamara pergi keluar lalu melangkah menuju loker tempat tasnya disimpan oleh Yuri tadi.

"Gue gak mau, Vi. Gue gak ngajuin diri juga. Gue ditunjuk, bukan gue yang mau!" Tangisan pilu seseorang terdengar dari ruangan dibalik loker.

"Iya, Nin. Gue ngerti. Tapi coach juga gak asal nunjuk. Beliau tuh tau kalau lo bisa jadi pemimpin buat yang lain. Suka atau enggak itu urusan mereka sama coach bukan sama lo. Lo gak usah ngerasa bersalah." Novia menenangkan Jeanine yang tangisnya kian menyayat.

Jeanine dengan posisi menenggelamkan wajahnya pada pelukan Novia perlahan meluruhkan tubuhnya ke lantai dingin itu. Novia turut turun tanpa melepaskan pelukannya pada Jeanine.

Tamara mengintip, lalu pergi meninggalkan mereka yang masih berpelukan.

'Anin, lo gak apa-apa?' ketik Tamara pada ruang obrolannya dengan Jeanine. Namun Tamara menghapusnya, tak jadi mengirim pesan pada Jeanine. Ia berubah pikiran, dan akan menanyakannya langsung jika ada kesempatan besok. Ia beralih ke kontak Yuri lalu menekan tombol telepon.

"Yuri, lo udah pulang?"

"Udah setengah jalan sih. Kenapa, Ta?"

"Oh, gak apa-apa, Ri. Yaudah lanjut aja."

"Lo ok, Ta?"

"Ok, Ri hahaha. Aman, tenang aja. Gue matiin ya."

Tamara tertawa sekilas lalu langsung menekan tombol merah pada ponselnya.

Setelah selesai sesi teleponnya dengan Yuri, Tamara melangkahkan kakinya menuju parkiran sekolahnya.

Tak langsung pulang, Tamara berdiri mematung. Berpikir apakah ia harus menyusul Jeanine lalu mengantarnya pulang, atau menunggu gadis itu keluar dan pulang sendiri.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundak kiri Tamara, lalu disusul suara, "Sorry, lo Tamara kan? Boleh anterin Jeanine pulang gak?"

Tamara berbalik, dan melihat Novi yang merangkul Jeanine yang terlihat lemas.

"Ekhem, bisa gak?" Deheman Novia menyadarkan Tamara yang sedang berfokus pada Jeanine.

"Bisa, gue bisa." Jawaban Tamara mendapat anggukan dari Novia. Kemudian tubuh Jeanine beralih pada Tamara.

"Thanks, gue duluan." Novia bergegas kembali masuk ke dalam sekolah.

"Nin, kita ke depan ya." Tak kunjung mendapat jawaban, Tamara langsung melingkarkan tangannya pada pinggang Jeanine. Kemudian ia membawa Jeanine perlahan menuju halte sekolah mereka.

Di saat tangan kirinya merangkul Jeanine, tangan kanan Tamara ia gunakan untuk memesan Goescar, lalu menelepon ayahnya untuk mengabari bahwa sepeda motor yang ia bawa akan ditinggal di sekolah.

Tak lama menunggu di halte, seorang bapak-bapak dengan identitas goescar menghampiri mereka, "Mbak Tamara ya?" Pertanyaan bapak-bapak tersebut mendapat anggukan dari Tamara. "Mari, Mbak." Sang sopir mempersilahkan Jeanine dan Tamara untuk masuk ke dalam mobilnya.

Mobil mulai melaju meninggalkan area sekolah. Jeanine duduk dengan menyenderkan kepalanya pada bahu Tamara. Tangan Tamara bergerak untuk mengelus kepala Jeanine- mencoba untuk menenangkan.

"Ta, gue gak pantes ya?" Suara parau Jeanine masuk ke telinga Tamara.

"Lo pantes dapat semua yang baik, Nin. Lo berharga, lo keren, Nin." Jawab Tamara dengan tangan yang masih mengelus kepala Jeanine. Tangan Tamara tak berhenti mengelus rambut kesayangannya hingga tiba di alamat tujuan.

Sesampainya di rumah Jeanine, Tamara menekan bel rumah dengan nomor 305 tersebut. Ibu dari Jeanine membuka gerbang lalu bertanya setelah melihat kondisi anak bungsunya, "Anin kenapa, dek Tamara?"

Tamara hanya tersenyum dan mengisyaratkan bahwa ia akan menjelaskannya nanti. Ibu dari Jeanine mengangguk mengerti lalu mempersilahkan keduanya untuk masuk.

Tamara mengantarkan Jeanine ke kamarnya dan menyuruhnya untuk berbaring . Tamara tahu gadis itu sangat pusing karena telah menangis dalam waktu yang cukup lama.

Setelah Jeanine berbaring, Tamara berbalik. "Ta, jangan pulang." Jeanine mencekal pergelangan tangan Tamara.

"Iya gue nggak pulang. Gue izin dulu ke mama lo ya." Jeanine mengangguk.

"Anin kenapa, Ta? Ada masalah di sekolah?" Tanya ibu Jeanine khawatir.

"Iya lagi ada masalah, Tan. Tapi bukan masalah besar kok, biasa anak muda hehe."

"Apa Anin udah punya pacar?"

"Waduh kalau itu saya juga kurang tahu, Tan. Ini masalahnya bukan tentang pacar kok." Tamara menjeda,

"Oh iya, Tan. Saya izin nginep di sini sampai pagi ya, Tan." Ibu dari Jeanine mengangguk. Lalu Tamara kembali ke kamar Jeanine setelah berterimakasih pada orang tua Jeanine.

Setelah membuka kamar Jeanine, Tamara disambut dengan Jeanine yang sudah berganti pakaian dan sudah mencuci mukanya, itu berarti Jeanine sudah siap untuk bercerita.

"Do you want to tell me something, girl?" Pertanyaan Tamara mendapat anggukan dari Jeanine.

"Ta, gue ditunjuk jadi kapten buat pertandingan besok sama Smansa."

"Keren, Nin."

"Tapi temen-temen gue gak setuju, Ta. Mereka nyindir gue didepan muka gue langsung. Padahal gue gak minta jadi kapten. Harusnya mereka protes ke coach bukan nyindir-nyindir gue kaya gitu." Air mata Jeanine kembali menetes.

"Gue gak pantes ya, Ta?"

"Lo pantes dapat semua yang baik, Nin. Lo udah lakuin yang terbaik." Tamara memeluk Jeanine, dan membisikkan "I'm so proud of you." di telinga kanan Jeanine berkali-kali.

Just Friend (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang