Suara jeritan terdengar jelas di telingaku hingga membuatku mau tidak mau membuka mata. Hari masih pagi dan sebenarnya aku ingin melanjutkan tidurku tapi aku yakin dalam hitungan hingga angka lima, wajah Ibu akan muncul di kamarku, membangunkanku dengan paksa dan memintaku untuk mengurus Cal, bocah enam tahun yang hanya mau dimandikan olehku.
"Jingga ..., bantu Ibu mandiin Cal. Dia rewel dan katanya nggak mau ke sekolah." Seperti yang sudah kuduga, dalam hitungan detik, Ibu sudah berada di kamarku dan membuatku tidak bisa kembali melanjutkan tidurku.
"Ya sudah kalau dia nggak mau sekolah. Sesekali bolos kayaknya nggak apa-apa," balasku.
"Jingga!" teriakan Ibu membuatku beranjak dari tempat tidur dengan cepat.
"Mbak Gendis harus memberikan gaji bulanan karena aku sudah bekerja dengan keras mengasuh putranya," ucapku setengah bercanda tapi membuat Ibu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Cal adalah anak pertama Mbak Gendis, kakakku yang terpaut usia lima tahun dariku. Dia meninggalkan Cal untuk diasuh oleh Ibu sejak keponakanku itu berusia lima tahun.
Jangan tanya ke mana keberadaan kakakku saat ini, sudah tentu dia juga sedang kerepotan merawat bayi kembarnya yang baru berusia satu tahun. Kembarnya bukan hanya dua, tapi tiga.
Mbak Gendis begitu kerepotan menjelang akan melahirkan keponakan kembarku. Apalagi saat itu Cal sedang dalam fase rasa ingin tahu yang begitu besar dan membuat siapa pun akan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahnya.
Ibu yang pertama kali menawarkan akan merawat Cal saat Mbak Gendis telah melahirkan bayi kembarnya. Awalnya dia menolak dan bersikeras jika dia akan bisa merawat Cal dan adik kembarnya. Tapi nyatanya seminggu kemudian, dia menyerah dan meminta Mas Bimo mengantarkan Cal ke rumah.
Setiap akhir pekan, Cal diantar kembali ke rumah orang tuanya agar dia ingat sebenarnya dia masih punya ayah dan ibu, bukan terus-menerus menganggapku sebagai ibunya hingga membuat teman-temanku merasa heran. Kapan aku menikah, kenapa tiba-tiba sudah punya anak sebesar Cal?
"Mama ...!" jerit Cal lagi di depan kamar mandi. Selama ini Cal memang memanggilku dengan panggilan 'mama Jingga', sedangkan ibunya dipanggil dengan 'bunda'. Semua orang yang tidak mengenalku, pasti akan mengira jika Cal memang anakku, apalagi kata orang wajah kami lumayan mirip. Satu lagi yang mirip menurut Ibu, kami sama-sama menyebalkan.
"Calvin, mau mandi atau nggak?" tanyaku masih dengan intonasi suara normal, sedikit serak karena baru bangun tidur.
"Nggak mau sekolah!" Cal berteriak dengan nyaring hingga membuat keningku berkerut. Heran banget sama anak kelas satu SD ini, apa sih yang membuat dia sampai tidak mau ke sekolah? Seingatku tidak ada pelajaran yang menguras otak hingga membuatnya malas ke sekolah.
"Kenapa nggak mau?" tanyaku penuh kelembutan padahal tanganku sudah gatal ingin melepaskan celana dalamnya dan menyeretnya ke kamar mandi.
"Aku belum kerjain PR." Dia pun menangis sesenggukan. Aku malah ingin tertawa saat melihat Cal yang sedang menangis. Dengan hanya mengenakan celana dalam bercorak sapi, dia menangis dengan nyaring. Benar-benar terlihat nggak banget.
"Kenapa semalam nggak bilang kalau ada PR." Intonasi suaraku mulai naik satu tangga.
"Lupa," jawabnya. Aku menarik napas panjang. Padahal aku tahu apa yang dikerjakan keponakanku yang imut ini semalam. Dia sibuk bermain game dan sama sekali tidak mau berhenti walau sudah dimarahi neneknya.
"Mandi dulu sekarang, nanti PR-nya kita kerjain," bujukku.
"Tapi bisa selesai, kan?" tanyanya tidak yakin. Tentu saja akan selesai karena akulah yang akan mengerjakan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingganya Langit
RomanceJingga selalu berharap tidak akan pernah bertemu dengan Langit lagi, lelaki di masa lalu yang membuat masa-masa remajanya begitu suram, sosok yang melakukan perundungan padanya di masa sekolah dulu. Hingga hari yang tidak diharapkan Jingga itu datan...