3. Kabur Adalah Pilihan Tepat

1.7K 327 14
                                    

Aku terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaannya. Pernah bertemu? Tentu saja karena beberapa tahun yang lalu, dia telah menyengsarakan hidupku.

"Mungkin iya karena saya pernah terlibat di beberapa iklan," karangku. Entah kenapa aku merasa senang karena bisa mengelabui lelaki ini. Dia pasti semakin tidak bisa menebak siapa aku. Sudah belasan tahun berlalu, sosokku pasti sudah terhapus dari ingatannya.

"Oh ... pantasan saja," katanya yang entah kenapa membuatku mendadak menahan napas karena jarak kami terlalu dekat saat dia dengan sok perhatiannya mengusap kepala Cal.

Setelah meninggalkan ruangan guru, aku buru-buru membawa Cal menuju mobilku dan baru bisa menarik napas lega saat mobilku telah berjalan meninggalkan sekolah.

"Jangan bilang Bunda kalau aku berantem," ucap Cal dengan sorot mata memohon.

"Mana mungkin nggak bilang, justru Bunda yang tahu duluan kalau kamu berantem," balasku.

"Nggak apa-apa, jangan takut. Nanti Mama yang jelasin ke Bunda kenapa Cal sampai berantem. Tapi lain kali usahain jangan sampai berantem lagi ya," kataku penuh perhatian. Alasan aku tidak ingin Cal berantem lagi karena tidak ingin datang ke sekolahnya dan bertemu dengan lelaki itu lagi 

"Itu ... yang tadi wali kelas Cal?" tanyaku. Pertanyaanku rasanya terlalu basa-basi, untung saja aku mengajukannya pada Cal yang masih polos dan tidak mengerti arah pertanyaanku.

"Iya, Pak Langit namanya," jawab Cal. Itu sih aku juga tahu, bukankah tadi dia juga sudah memperkenalkan dirinya dan aku juga memang sudah tahu namanya.

"Apa Pak Langit baik?" pancingku kembali.

"Baik," jawab Cal singkat sehingga membuatku semakin penasaran seperti apa baiknya lelaki itu di mata muridnya.

"Nggak pernah marahin Cal?" tanyaku.

"Sering, setiap hari," jawabnya dan membuatku tergelak.

"Tapi setelah marah, dia baik lagi," sambungnya.

Aku tidak membahas mengenai sekolah lagi dengan Cal karena ingin membuatnya lupa dengan kejadian yang sudah pasti membuatnya kesal itu. Aku masih menganggap kenakalan Cal dalam tahap wajar, bukan hal serius yang harus diatasi dengan sebuah hukuman.

"Mama antar Cal ke rumah Bunda dulu ya, nanti Cal pulang bareng Kakek dan Nenek," kataku kemudian.

"Nggak mau," balasnya.

"Mama Jingga ada kerjaan dan di rumah sedang nggak ada orang," kataku memberi penjelasan.

"Aku mau ikut," rengeknya.

"Ini bukan acara anak-anak," kataku.

"Sebentar aja kok, setelah itu kita jajan bakso," tawarku. Mana mungkin aku membawa anak super aktif ini sementara acaranya juga bukan acara untuk anak-anak.

"Bunda juga kangen dengan Cal," bujukku lagi.

"Nggak mungkin kangen, Bunda, kan lebih sayang sama adik-adik aku," balasnya dengan wajah cemberut. Tidak ingin dia bertambah sedih, aku pun mengalihkan pembicaraan dengan membahas hal-hal tidak penting dengannya. Tentang acara televisi kesukaannya hingga menanyakan karakter apa yang paling disukainya di game.

***

Aku selalu percaya diri saat menghadiri setiap acara, apa pun jenis acaranya. Waktu yang berlalu telah membuatku menjadi percaya diri seperti ini, aku bahkan berusaha ingin membuat semua mata mengarah padaku.

"Lipstik lo merk apa, cakep banget warnanya," puji Yuri, salah satu undangan yang juga seorang beauty blogger sepertiku juga. Pembicaraan saat sesama beauty blogger saat bertemu sudah pasti seputar make up atau skincare, kadang juga membicarakan tentang lelaki sih, tapi tidak sering.

Jingganya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang