4. Sejak Kapan Berteman?

1.5K 342 16
                                    

"Sekarang dia guru di salah satu sekolah. Lo masih ingat, kan sama dia?" tanya Yuri untuk kesekian kalinya. Aku pura-pura menggelengkan kepalaku.

"Duh, gue benar-benar lupa. Kayaknya yang namanya Langit ini beda kelas sama gue. Ingatan gue memang buruk kalau harus mengingat nama-nama teman sekolah dulu. Mungkin kalau lihat wajahnya, gue bisa ingat," jelasku sambil terkekeh. Entah apa yang sedang aku tertawakan, yang pasti saat ini perasaanku benar-benar tak karuan.

Bagaimana aku bisa lupa dengan lelaki itu walaupun kami berbeda kelas. Bahkan hingga nama lengkapnya pun aku masih ingat.

"Nah itu dia," ucap Yuri bersemangat saat sebuah mobil berwarna hitam memasuki area parkir. Bukannya tidak ingin bertemu dengan Langit, justru semenjak kepercayaan diriku bertambah berkali-kali lipat, orang yang paling ingin aku temui adalah dia. Aku ingin mematahkan semua kalimat yang pernah dilontarkannya padaku. Aku bukan lagi Jingga yang pemalu, dekil, dan nggak menarik.

Tapi ..., sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat. Aku butuh sebuah keadaan yang membuat Langit akan tercengang saat kembali bertemu denganku dan sekarang bukalah waktunya. Apalagi tadi pagi kami baru saja bertemu di sekolah Cal.

"Gue duluan ya, ditelepon Cal terus nih," kataku sambil buru-buru masuk ke mobil. Padahal mana ada orang yang menghubungiku dari tadi.

"Jingga ..., tunggu dulu. Lo nggak mau bertemu dengan teman-teman SMA kita dulu?" tanyanya. Teman-teman? Itu artinya bukan hanya ada Langit di dalam mobil, mungkin ada yang lainnya lagi.

"Nanti aja pas reuni. Sekarang gue benar-benar mesti pulang," kataku memberi alasan dan dengan cepat menutup pintu mobil. Tepat di saat pintu mobilku tertutup, mobil yang terindikasi ada Langit di dalamnya pun berhenti.

Aku hanya memberi salam dengan membunyikan klaksonku dan segera menjalankan mobil tanpa berhenti lagi. Yuri mungkin akan bercerita pada orang-orang yang berada di dalam mobil itu jika dia baru saja bertemu denganku. Semoga saja Langit tidak terlalu ingat denganku jika Yuri menyebutkan nama Jingga. Aku rasa mungkin seumur hidupnya dia malah tidak tahu siapa namaku.

Aku merasa begitu lega setelah mobilku bergerak semakin jauh. Padahal rasanya hidupku sudah hampir sempurna karena semua hal yang aku dapatkan tapi ingatanku tentang sosok Langit malah mengacaukan semuanya. 

***

"Tuh, kan lama. Katanya cuma sebentar," rajuk Cal saat melihat kedatanganku. Aku memasang senyum lebar agar dia tidak semakin kesal.

"Ayo kita makan bakso," ajakku. Walaupun memasang wajah kesal, Cal segera berlari keluar dari rumah.

Warung bakso yang ingin aku dan Cal datangi tidak terlalu jauh karena itu kami hanya berjalan kaki, letaknya hanya di seberang jalan perumahan ini.

"Tadi Bunda marah sama aku." Cal memulai ceritanya selama perjalanan menuju warung bakso.

"Marah itu artinya sayang. Mama Jingga juga sering marahin Cal, kan? Tapi tetap sayang sama Cal," kataku berusaha menenangkannya.

"Tapi sama adik-adik, Bunda nggak pernah marah," balasnya.

"Itu karena adik-adik Cal masih bayi," kataku memberi pengertian. Sepertinya Cal berpikir jika ibunya hanya sayang dengan adik-adiknya. Aku harus membicarakan hal ini dengan Mbak Gendis agar Cal tidak menganggap orang tuanya pilih kasih.

"Tadi di rumah Bunda ngapain aja?" tanyaku.

"Makan, tidur, terus nonton," jawabnya.

"Bunda lagi sakit, makanya Cal nggak bisa lama-lama di sana," kataku yang tidak ingin Cal merasa kecewa kenapa dia hanya sebentar saja berada di rumah orang tuanya.

Jingganya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang