"Cal ingat apa yang pernah Mama katakan kemarin?" tanyaku sementara wajah Cal terlihat bingung.
"Nggak ingat," sahutnya dengan wajah polos. Aku menarik napas panjang dan merasa kesal, tapi bukan Cal yang menjadi sumber kekesalanku. Kekesalanku tidak beralasan, mungkin aku kesal pada Langit yang bersikap baik pada Cal.
"Tidak boleh menerima pemberian dari siapa pun tanpa persetujuan Mama, Bunda, atau Ayah," kataku. Mata Cal mengerjap, dia seperti masih tidak mengerti dengan apa yang aku ucapkan.
"Tapi ... tadi, kan nggak ada Mama, Bunda, atau Ayah," balasnya.
"Kasih tahu Kakek juga boleh," ucapku yang tiba-tiba merasa iba melihat wajah Cal yang tegang, mungkin dia khawatir aku akan memarahinya.
"Sana cuci tangan, cuci kaki, terus ganti pakaian," kataku sambil mengusap rambutnya
"Coklat Mama buat aku aja ya? Kayaknya Mama nggak suka." Tanpa menunggu persetujuanku, Cal menarik kantong berisi coklat yang berada di genggamanku.
"Apa anak yang lain juga dapat coklat dari Pak Langit?" tanyaku penasaran.
"Nggak, cuma Cal aja," jawabnya.
"Kok bisa?"
"Karena aku yang paling terakhir menyelesaikan tugas," katanya bangga dan membuatku melongo. Aneh banget, kok yang paling terakhir malah yang dapat hadiah.
Jam tiga sore nanti, aku harus mengantar Cal ke rumah Langit untuk belajar secara privat dengan wali kelasnya itu. Aku sebenarnya enggan, apalagi sampai harus ke rumah Langit yang tidak kuketahui alamatnya itu. Mbak Gendis memang telah mengirimkan lokasi rumah Langit padaku yang artinya secara tidak langsung memintaku mengantar Cal nanti sore.
Sebenarnya rumahnya tidak jauh, tapi tetap saja hatiku terasa berat. Harusnya Mbak Gendis membiarkan Cal belajar sendiri saja, tidak perlu secara privat dengan gurunya.
Anak sekecil itu harusnya diberi waktu sebanyak-banyaknya buat bermain, bukan belajar yang membuatnya tertekan. Saat aku mengutarakan hal itu pada Mbak Gendis, dia malah menjelaskan panjang lebar jika Cal tidak akan tertekan karena gurunya berjanji memberikan pelajaran yang menyenangkan. Sepertinya ada banyak hal yang dibicarakan Mbak Gendis dan Langit, jangan-jangan sebentar lagi Langit akan tahu jika aku bukan ibu Cal yang sebenarnya.
Masih satu jam lagi aku akan mengantar Cal dan satu jam itu kumanfaatkan untuk merias diriku semenarik mungkin. Sudah cukup tadi pagi aku berpenampilan seperti gembel, sore ini aku tidak mau melakukannya lagi. Aku harus menanamkan di pikiran Langit jika aku bukanlah Jingga yang dulu lagi.
"Loh, mau ke mana?" tanya Ibu heran saat masuk ke kamar untuk mengantar pakaianku yang sudah dilipat.
"Antarin Cal les," jawabku sambil memasang lensa kontak ke mataku.
"Antarin les?" tanya Ibu bingung. Aku tidak menanggapi ucapan Ibu karena sedang berkonsentrasi memasang lensa kontakku.
"Habis itu mau ke mana lagi?" tanya Ibu lagi.
"Nggak ada, cuma antarin Cal aja," jawabku.
"Kok pakai dandan segala?"
"Memangnya nggak boleh dandan, masa aku cantiknya cuma kalau lagi buat video endorse aja," balasku. Ibu terkekeh dan tidak menanggapi ucapanku lagi, dia kemudian keluar dari kamarku setelah menyimpan pakaianku di lemari.
Dandananku tidak boleh terlalu heboh, Langit akan heran jika tahu aku berdandan seperti ini hanya karena akan mengantar Cal ke rumahnya. Senatural mungkin tapi harus tetap berdandan.
Hanya berdandan yang ingin terlihat seperti orang tidak berdandan saja menghabiskan waktu satu jam. Melelahkan saja, masa hampir setiap hari aku harus seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingganya Langit
Storie d'amoreJingga selalu berharap tidak akan pernah bertemu dengan Langit lagi, lelaki di masa lalu yang membuat masa-masa remajanya begitu suram, sosok yang melakukan perundungan padanya di masa sekolah dulu. Hingga hari yang tidak diharapkan Jingga itu datan...