Aku akan dicap sebagai wanita tidak berperasaan jika sampai menolak permintaan Langit tadi walaupun memang itu yang ingin kulakukan. Pada akhirnya aku mengizinkan lelaki itu ikut di mobilku, yang katanya dia ingin ke bengkel di mana ayahnya sedang berada di sana.
Andai saja tadi tas Cal tidak tertinggal, mungkin saat ini aku dan Cal sedang bernyanyi-nyanyi mengikuti lagu yang keluar dari pemutar musik mobilku atau bisa jadi sedang singgah membeli jajanan kesukaan Cal sambil membicarakan hal tidak penting dengannya.
Tapi nyatanya saat ini suasana terasa begitu canggung sampai menarik napas saja terasa sulit buatku. Hanya Cal yang terlihat santai dan keduanya terus berbicara hal yang tidak kumengerti dari tadi.
Aku tidak tahu jika Cal seakrab itu dengan gurunya. Dia berbicara apa pun, seolah Langit adalah temannya, bukan gurunya.
"Bengkelnya di mana ya?" tanyaku setelah keluar dari area perumahan.
"Sekitar satu kilo meter lagi," jawabnya. Jika bisa, rasanya aku ingin memacu mobil ini secepat mungkin agar bisa segera menurunkan Langit dan terhindar dari perasaan yang tidak karuan ini. Seumur hidupku sama sekali tidak pernah memikirkan akan berada di situasi seperti ini. Musuh masa remaja yang menjelma menjadi guru keponakanku, sungguh hal yang tidak masuk akal. Dan yang paling tidak masuk akal saat ini dia menumpang di mobilku.
"Sudah dekat, agak pelan aja," ucapnya dan membuatku menurunkan kecepatan mobil. Mataku dengan cepat menangkap sebuah bengkel mobil di sebelah kiri jalan dan tepat di saat yang bersamaan Langit pun memintaku untuk berhenti.
"Bengkel yang di sebelah kiri," ucapnya. Sebentar lagi aku akan terbebas dari perasaan tertekan ini.
"Terima kasih atas tumpangannya," ucap Langit setelah aku menepikan mobil.
"Kok singgah di sini? Pak Langit nggak ikut pulang ke rumah?" tanya Cal dengan wajah polosnya. Apalagi ini. Kenapa Cal selalu membuatku kesulitan dengan kalimat yang diucapkannya?
"Kapan-kapan aja ya Bapak mampir," balas Langit sambil tersenyum ke arah Cal. Kapan-kapan? Sebaiknya jangan pernah deh.
Langit mengucapkan terima kasih sekali lagi sambil mengusap kepala Cal. Ini yang terakhir, aku harap tidak akan pernah ada lagi interaksi yang terlalu dekat dengan lelaki ini.
***
"Ayo buruan, katanya Cal dan teman-teman tampil pertama," kataku pada Cal yang sibuk dengan kostum harimaunya. Daripada harimau, kostumnya lebih mirip macan tutul. Apalagi Cal yang mengenakannya, kesannya jadi lucu dan menggemaskan.
"Tapi badanku gatal gara-gara pakaian ini," keluhnya sambil menggaruk-garuk lengannya.
"Makanya tadi Mama bilang pakai baju kaos dan celana pendek dulu, baru pakai baju harimaunya," balasku yang perlahan mulai merasa kesal.
Padahal pagi ini aku sudah berusaha bangun lebih awal dari biasanya agar bisa segera mandi dan berdandan. Aku harus tampil menarik walaupun hanya menemani dan menonton Cal pentas seni. Tapi lihatlah yang dilakukan bocah ini, hanya membuat keributan yang tidak berarti.
"Ayo buruan buka dulu baju harimaunya, pakai pakaian di dalamnya biar nggak gatal," perintahku sementara wajah Cal sudah berubah masam karena mood pagi harinya terganggu gara-gara baju harimau.
Aku segera mengambil baju kaos dan celana pendek untuk Cal sementara Cal membuka baju harimaunya. Ibu sedang kerepotan membuat bekal Cal yang penuh dengan permintaan, dari ingin nasi kepal karakter kartun sampai buah apel yang dipotong bentuk bintang. Karena kesibukan Ibu itulah yang membuat Cal berinisiatif mengenakan baju harimaunya sendiri.
"Sudah beres. Sarapannya di mobil aja," kataku sambil menyambar sepotong roti dan susu kotak untuk sarapan Cal di mobil. Cal benar-benar menggemaskan, kostum harimaunya itu membuatku ingin mencubit pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingganya Langit
RomanceJingga selalu berharap tidak akan pernah bertemu dengan Langit lagi, lelaki di masa lalu yang membuat masa-masa remajanya begitu suram, sosok yang melakukan perundungan padanya di masa sekolah dulu. Hingga hari yang tidak diharapkan Jingga itu datan...