Aku harus percaya diri, ucapku berkali-kali di dalam hati. Tapi nyatanya saat mataku menatap ke kakiku yang hanya mengenakan sandal jepit dan kemudian beralih pada tubuhku yang mengenakan pakaian tidur dilapisi sweater kusamku, kepercayaan diriku pun perlahan ciut. Apalagi saat aku meraba rambutku yang hanya diikat asal dengan karet bekas bungkus nasi.
Apa lelaki ini tidak bisa mengundangku saat keadaanku lebih baik? Atau harusnya dia bisa berdiskusi dengan Mbak Gendis melalui pesan pribadi di ponsel tanpa harus bertemu denganku secara langsung seperti ini.
Aku kesal, tapi tidak bisa mengarang alasan untuk menolak permintaannya tadi. Padahal ada sejuta alasan yang seharusnya bisa aku jabarkan ke hadapannya tadi, tapi anehnya aku malah menurut saja saat dia mengajakku ke ruang guru.
Ruang guru dalam keadaan sepi dan membuatku bisa sedikit bernapas lega. Aku tidak masalah berpenampilan seperti ini saat bertemu dengan orang lain, mau artis terkenal sekali pun. Tapi asalkan jangan bertemu dengan Langit. Kepercayaan diriku merosot jauh saat ingat bagaimana dia menghinaku dulu. Harusnya aku bisa berpenampilan semaksimal mungkin saat bertemu dengannya, bukan seperti gembel. Oh! Aku ingin menangis saat membayangkan bagaimana rupaku saat ini.
"Ada apa dengan Calvin? Saya nggak punya banyak waktu, jadi langsung ke inti pembicaraan saja," kataku dengan nada sombong. Tapi nyatanya kesombonganku tidak berpengaruh apa pun buatku, aku masih saja merasa tidak percaya diri.
"Calvin anak yang cerdas, dia bahkan bisa menggambar jauh lebih baik dari teman-temannya. Kreatifitasnya sangat tinggi. Tapi di kelas, kadang dia sering tidak fokus. Mengerjakan satu tugas mudah yang seharusnya bisa dikerjakan dalam waktu lima belas menit, tapi malah tidak diselesaikannya hingga jam pelajaran berakhir," jelas Langit panjang lebar.
"Saya sudah berusaha membimbing Calvin agar dia tidak tertinggal jauh dari teman-temannya, tapi sepertinya saya butuh bantuan dari orang-orang terdekatnya juga," sambungnya.
Apa yang diucapkan Langit memang tidak salah. Di rumah juga, Cal sering tidak fokus dan malah lebih memilih bermain saat dia mulai mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dia bahkan masih sulit mengenali huruf di saat anak-anak seusianya malah sudah bisa membaca. Tapi bagiku sendiri, hal itu masih dalam batas wajar.
"Terima kasih sudah membahas hal ini, Pak. Tapi bukankah kemampuan tiap anak itu berbeda-beda. Saya sendiri tidak terlalu memaksa Calvin harus sepintar teman-temannya, tapi yang penting dia bisa berkomunikasi dengan baik, mengutarakan apa keinginannya serta memperlakukan teman-temannya dengan baik, saya rasa itu sudah cukup. Mengenai akademis, itu hanya bonus," kataku seperti orang yang sedang berpidato. Aku ini ngomong apa sih, kok jadi panjang lebar begini.
"Tepat sekali, saya juga setuju dengan apa yang Ibu katakan. Tapi alangkah baiknya jika keduanya bisa seimbang," balasnya sambil tersenyum. Sial, kenapa dia malah tersenyum sih, apa dia sedang meledek penampilanku yang nggak banget ini?
"Jadi ... sebenarnya saya ingin berdiskusi dengan Ibu mengenai kemampuan akademis Calvin ini. Tanpa bermaksud memberatkan Calvin dan juga memaksanya untuk belajar lebih keras. Bagaimana jika saya memberikan pelajaran tambahan untuk Calvin dengan suasana yang terasa lebih nyaman untuknya hingga dia pun merasa senang untuk belajar," katanya. Keningku berkerut dan berpikir dengan keras apa maksud ucapannya.
"Ibu pasti ingin Calvin bisa belajar lebih baik dan terarah. Jadi saya bisa meluangkan waktu saya untuk membantu Calvin agar setidaknya dia bisa belajar beriringan dengan teman-temannya," sambungnya. Orang ini ngomong apaan sih, aku belum mandi dan otakku terasa sulit untuk memahami pembicaraannya.
"Jadi?" tanyaku tidak sabar. Dia tidak tahu jika aku mulai gerah dan ingin segera mandi.
"Saya akan memberikan kelas tambahan khusus untuk Calvin di rumah saya atau di rumah Ibu juga tidak masalah," sahutnya. Mataku seketika memicing, aku tidak salah dengar, kan?
"Begini, Pak. Usul Bapak bagus sekali, tapi saya harus mendiskusikan hal ini dengan ...." Aku terdiam sesaat memikirkan kelanjutan ucapanku. Dengan siapa aku harus mendiskusikan hal ini sementara aku ingin Langit tahu jika Cal adalah anakku.
"Dengan ... ayahnya Calvin." Entah kenapa wajahku malah memanas setelah menyelesaikan ucapanku. Aku jadi ingat ucapan Cal yang mengatakan jika aku sedang menjadi papa baru buatnya. Semoga Langit tidak terlalu peduli dengan ucapan Cal itu.
"Baik ..., saya mengerti," balasnya dengan wajah yang seperti sedang menahan senyum. Aku kembali memaki di dalam hati, dia tidak sedang mengejekku, kan?
"Kalau begitu saya pamit pulang dulu," kataku karena sepertinya tidak ada pembicaraan penting lagi yang bisa kami bahas.
Aku semakin tidak betah berada di sini, apalagi saat mataku menatap sosok Langit yang terlihat rapi dan segar, tiba-tiba saja aku memikirkan jika aku sungguh tidak pantas berada di sini. Lain kali aku akan bangun lebih awal dan berdandan sebelum mengantar Cal ke sekolah.
"Silahkan, Ibu," katanya sopan.
"Tapi sebelumnya saya penasaran apa Ibu benar-benar tidak ingat jika saya adalah salah seorang teman SMA Ibu?" tanyanya saat kakiku sudah akan terangkat untuk meninggalkan kursi yang sedang aku duduki.
Apalagi ini.
Aku terdiam sesaat agar menambah kesan dramatis. Dengan membuat bola mataku berputar, aku pasti terlihat seperti sedang berpikir dengan keras.
"Maaf, saya benar-benar nggak ingat. Yang saya ingat hanya teman-teman yang penting saja. Mungkin di masa itu, Bapak nggak terlalu penting buat saya," kataku dengan nada datar dan emosi terkendali.
Langit tertawa pelan saat mendengar ucapanku. Padahal aku berharap jika dia merasa kesal dengan ucapanku tadi.
"Teman yang penting ya," ulangnya seperti sedang berbicara sendiri.
"Saya pamit ya, Pak. Ada pekerjaan yang menunggu," potongku karena tidak ingin mendengar apa tanggapannya atas ucapanku tadi.
"Akan saya kabari secepatnya mengenai apa yang kita bicarakan tadi," kataku sambil tersenyum. Capek banget pura-pura ramah di hadapan lelaki ini.
***
"Ya sudah, biar Cal dapat pelajaran tambahan dari gurunya aja. Di rumah juga dia nggak bisa belajar dengan baik, kan," ucap Mbak Gendis saat aku meneleponnya untuk memberitahu tawaran Langit tadi. Awalnya aku berpikir jika Mbak Gendis tidak akan setuju dengan tawaran Langit karena dia pernah mengatakan tidak mau memaksa Cal belajar terlalu berat karena semua itu hanya akan menyita masa anak-anaknya yang berharga. Tapi kenapa kali ini dia berubah pikiran?
"Mbak serius?" tanyaku tidak yakin.
"Iya, kapan lagi Cal bisa belajar dengan benar kalau nggak dari kelas tambahan," balasnya.
"Pelajaran tambahannya di rumah gurunya aja, biar dia lebih berkonsentrasi," sambungnya.
"Tapi Mbak ...."
"Nanti biar Mbak aja yang informasikan ke gurunya sekalian mau tanya-tanya tentang Cal juga," potong Mbak Gendis.
"Mbak ...." panggilku yang bermaksud menyadarkannya akan keputusannya tadi tapi sayang dia malah telah mengakhiri sambungan telepon.
Coba tebak siapa yang paling dirugikan di sini? Tepat sekali, sudah pasti aku yang paling dirugikan.
Tentu saja nanti aku yang harus mengantar Cal untuk kelas tambahannya, aku juga harus mengorbankan perasaanku karena intensitas pertemuanku dengan Langit semakin tinggi, dan hal lainnya yang hanya aku sendiri saja yang mengerti.
"Mama ...," panggil Cal yang baru pulang dari sekolah. Aku meminta Ayah yang menjemput Cal dari sekolah karena semua yang terjadi padaku hari ini terasa melelahkan pikiranku hingga untuk menjemput Cal saja malas untuk kulakukan.
"Cal bawa apa?" tanyaku saat melihat dia menggenggam sebuah kantong di tangannya.
"Dibeliin Kakek jajanan apa?" tanyaku lagi sambil membuka kantong plastik dari tangannya dan mengambil sebuah bungkusan kecil.
"Enak banget coklatnya, ada jelinya lagi. tadi beli di mana?" tanyaku yang merasa tidak percaya jika akhirnya Cal bisa mendapatkan coklat jeli yang diinginkannya.
"Dikasih sama Pak Langit. Katanya yang besar itu buat Mama, yang kecil buat aku." Aku kontan mengeluarkan coklat dari dalam mulutku saat mendengar penjelasan Cal.(*)
Bab 37, 38 barusan di-update di KaryaKarsa ya. Silahkan mampir buat yang mau baca lebih cepat. Link ada di profil ❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingganya Langit
Roman d'amourJingga selalu berharap tidak akan pernah bertemu dengan Langit lagi, lelaki di masa lalu yang membuat masa-masa remajanya begitu suram, sosok yang melakukan perundungan padanya di masa sekolah dulu. Hingga hari yang tidak diharapkan Jingga itu datan...