11. Boleh Saya Menumpang?

1.4K 288 10
                                    

Sejujurnya aku sudah tidak betah berada di sini, bukan karena tidak suka dengan ibunya Langit yang dari tadi terus mengobrol tanpa berhenti padahal rasanya aku telah kehabisan bahan pembicaraan. Tapi situasi saat ini terasa begitu aneh. Bagaimana bisa aku berada di rumah orang yang paling tidak aku sukai sambil minum teh buatan ibunya dengan santai. Kegilaan seperti apa yang sebenarnya sedang aku lakukan?

Pembicaraan ibunya Langit seperti tidak akan ada habisnya. Untung saja Cal sudah menyelesaikan lesnya hingga aku bisa sedikit bernapas lega walaupun tidak lega-lega banget sih. Tetap saja aku harus kembali berhadapan dengan Langit, hal paling utama yang membuatku tidak betah berada di sini.

"Kirain Mama pulang tadi," ucap Cal dengan wajah berbinar. Dia mendekat dan memeluk lenganku. Tumben manja banget padahal aku sudah ingin menjewer telinganya atas apa yang diucapkannya pada Langit tadi. 

Meminta Langit menjadi papa buatnya? Itu sama saja artinya seperti sedang mencari jodoh untukku. Kalau dengan lelaki lain, mungkin aku tidak akan terlalu sekesal ini. Tapi Cal malah mengutarakannya di hadapan Langit, lelaki yang tidak akan menjadi pilihanku walaupun hanya ada satu lelaki di muka bumi.

"Ayo pulang," ajakku yang sudah lemas karena mengobrol dengan ibunya Langit tanpa henti.

"Tunggu sebentar, Tante ada sesuatu buat kalian bawa pulang." Oh astaga! Apa lagi ini. Ibunya Langit pun bergegas meninggalkanku dan masuk ke rumah.

"Kelihatannya Cal lebih bersemangat belajar di sini daripada di sekolah," kata Langit sedangkan aku sedang berusaha memalingkan mataku darinya karena hanya melihat wajahnya saja sudah membuatku malu. Tentu saja semua ini gara-gara Cal. Jangan-jangan Langit berpikir jika akulah yang mengajari Cal berbicara seperti itu.

"Karena mungkin di sekolah ada banyak gangguan yang membuatnya kurang bisa berkonsentrasi," balasku hanya untuk memperpanjang waktu sementara menunggu ibunya Langit yang tidak kunjung muncul.

"Ini Tante tadi ada buat brownies, dibawa pulang ya." Aku tidak tahu harus senang atau bingung saat dengan kebaikan ibunya ini.

"Wah brownies, aku suka banget," cetus Cal dengan wajah berbinar.

"Kebetulan sekali, kan. Ini buat dimakan di rumah ya," ucap ibunya Langit sambil mengusap rambut Cal. Jika sudah seperti ini, aku harus memikirkan balasan apa yang bisa aku berikan pada ibunya saat mengantar Cal ke sini lagi.

Cal mengucapkan terima kasih dengan wajah menggemaskan sehingga membuat ibunya Langit mengusap pipinya. Belum lihat saja bagaimana kalau Cal lagi menyebalkan.

"Kami pamit dulu ya," kataku dengan nada sopan. Kalau tidak ada ibunya, mana mau aku beramah tamah seperti ini. Semua yang aku lakukan ini benar-benar menguras emosiku.

"Kapan aku ke sini lagi?" tanya Cal padaku. Oh astaga! Aku malah berharap jika tidak akan pernah kembali lagi ke sini.

"Dua hari lagi ya," jawab Langit sambil tersenyum. Seolah baru saja mendengarkan hal yang menyenangkan, wajah Cal terlihat begitu gembira.

Akhirnya aku baru bisa bernapas lega saat mobilku perlahan meninggalkan rumah Langit. Rasa serba salah yang dari tadi kurasakan pun perlahan hilang dan membuatku bisa menarik napas panjang.

"Kostum buat besok sudah siap, kan?" tanyaku memastikan. Untuk urusan pentas seni besok sebenarnya Ayah dan Ibu yang mempersiapkan untuk Cal, aku hanya bertugas mengantar dan menonton pertunjukannya saja.

"Sudah, baju harimaunya sudah Nenek siapin," jawabnya.

Tiba-tiba saja aku merasa sangat penasaran dengan bagaimana tanggapan Langit saat Cal mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Langit sebagai papanya. Tapi ... bagaimana cara mencari tahu hal itu dari Cal?

Jingganya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang