Part 03 : Penyelidikan

362 34 0
                                    

Kabar meninggalnya Lik Diman dengan cara yang tidak wajar dengan cepat menyebar ke seantero desa Kedhung Jati. Suasana desa yang semula tenang dan damai berubah menjadi gaduh. Jeritan Bu Jarwo saat melihat jenazah Lik Diman yang terlihat begitu menyeramkan, sukses mengundang warga yang penasaran. Mereka segera berbondong bondong mendatangi lokasi tempat penggalian sumur, sekedar untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, meski setelah melihat kondisi mayat Lik Diman, rata rata para warga itu langsung memalingkan muka dan bergegas menjauh dari lokasi.

Bagaimana tidak. Mayat dengan kepala yang terpuntir kebelakang itu saja sudah terlihat sangat menyeramkan. Apalagi ditambah dengan wajah si mayat yang terlihat menegang dengan urat urat yang bertonjolan, kedua mata melotot nyaris keluar dari rongganya, serta lidah yang menjulur keluar, mampu membuat bulu kuduk siapapun yang melihatnya seketika meremang. Hanya beberapa warga yang bermental baja saja yang sanggup bertahan mengelilingi mayat itu sambil kasak kusuk membisikkan dugaan dugaan mereka tentang penyebab Lik Diman sampai nekat mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis itu.

"Stress kali, karena keseringan ribut sama istrinya," bisik salah seorang warga.

"Bisa jadi. Atau stress karena menggali sumur sampai sedalam ini tapi belum ketemu sumber juga. Nama baiknya sebagai seorang penggali sumur handal bisa tercoreng kalau sampai gagal menyelesaikan pekerjaan ini," timpal warga yang lain.

"Kalau menurutku sih kesurupan," sanggah yang lain. "Cuma orang ketempelan setan yang mampu menghabisi dirinya sendiri dengan cara seperti itu."

"Hmmm, ada benarnya juga. Tempat ini kan dulunya angker."

"Hufth!" Mas Joko menghela nafas kesal. Kedatangan para warga ini bukannya membantu tapi malah memperkeruh suasana. "Bapak bapak, tolong sedikit menjauh dari jasad Lik Diman ya. Biar nanti pihak berwajib saja yang mengurusnya. Dan jangan ada yang mendekat ke lobang galian. Kita belum tau apa yang ada dibawah sana. Yud!"

Mas Joko memanggil Mas Yudi yang nampak masih syok terduduk menyandar pada batang pohon lamtoro yang tumbuh tak jauh dari tempat itu.

"Ya Mas?" Mas Yudi menyahut lesu.

"Kau masih sanggup mengendarai motor?" Tanya Mas Joko.

"Emph, bisa Mas," Mas Yudi bangkit dari duduknya. "Biar aku saja yang melaporkan hal ini pada Pak Bayan Mas. Lama lama disini dengan kondisi Lik Diman yang seperti itu, bisa pingsan aku."

"Baguslah kalau begitu. Segera laporkan kejadian ini pada Pak Bayan, lalu hubungi Pak Modin juga. Dan keluarga Lik Diman ..."

"Eh, kalau untuk memberitahu keluarga Lik Diman, aku bingung Mas gimana nanti ngomongnya."

"Bilang saja kalau Lik Diman kecelakaan. Jatuh atau gimana gitu. Intinya jangan sampai membuat mereka kaget dan panik."

"Baiklah kalau begitu Mas. Aku jalan dulu ya," Mas Yudi lalu berjalan gontai ke tempat motornya terparkir, lalu melajukannya cepat ke arah desa. Sementara Mas Joko kembali sibuk memperingatkan beberapa warga yang sepertinya masih penasaran untuk mendekat ke tempat mayat Lik Diman berada. Terpaksa, untuk menghindari hal hal yang tak diinginkan, akhirnya Mas Joko menutupi jasad malang itu dengan beberapa lembar daun pisang yang ia petik dari kebun.

=============

Hingga sore menjelang, suasana di rumah Pak Jarwo nampak semakin ramai. Pihak kepolisian yang datang setelah mendapat laporan dari Pak Bayan sampai kerepotan menghalau para warga yang terus berdatangan bak semut mencium aroma gula. Pita kuning telah dipasang mengelilingi area galian sumur. Penyelidikan serius dilakukan. Beberapa petugas mulai mengidentifikasi mayat Lik Diman. Sebagian lagi memeriksa tanah bekas galian. Pak dan Bu Jarwo, Mas Joko, serta Mas Yudi yang menjadi saksi kunci dalam kasus ini, dicecar dengan puluhan (atau bahkan mungkin ratusan) pertanyaan yang diulang ulang. Bahkan Si Klanthung, orang gila yang biasanya keberadaannya tak diharapkan warga itu kini dicari cari. Pak Bayan, Pak RT, bahkan Pak Modin, sesepuh desa yang telah renta itupun ikut hadir dengan ditemani oleh Bu Guru Ratih, sang keponakan.

"Ada yang berani turun kedalam lubang?" Seru seorang petugas polisi sambil menatap bergantian ke arah Mas Joko dan Mas Yudi. Seperti dikomando, kedua orang itu serempak menggeleng.

"Kita harus tau apa yang ada di dasar sumur sana. Siapa tau ada petunjuk penting. Dan kalian berdua kan yang ikut kerja menggali sumur ini. Masa nggak ada yang berani turun sih?" Sungut si petugas.

"Saya nggak mau bernasib seperti Lik Diman Pak!" Bantah Mas Yudi tegas. Dalam hati laki laki itu menggerutu. Enak saja nyuruh nyuruh! Itu kan tugasmu sebagai seorang polisi!

"Kalau sampeyan?" Petugas polisi itu menoleh ke arah Mas Joko. Yang ditoleh hanya diam. Ada rasa tak enak kalau harus menolak permintaan petugas polisi itu. Tapi kalau menuruti permintaan mereka, Mas Joko juga tak mau ambil resiko.

"Masa sih nggak ada yang berani turun?" Kata petugas itu lagi dengan nada sedikit kesal. "Kalian kan ..."

"Pak! Kita bukannya tak mau membantu," Mas Yudi menyela ucapan di petugas, juga dengan nada yang tak kalah kesal. "Tapi kita kan nggak tau apa yang ada dibawah sana? Bagaimana kalau ternyata ada ..."

"Hey! Sampeyan jangan ...," belum selesai Mas Yudi memprotes ucapan si petugas, petugas berseragam itu tiba tiba berseru sambil bergegas mendekat ke arah lobang sumur, berusaha menahan langkah seorang perempuan berkacamata yang juga mendekat ke arah lubang itu.

"Tak apa Pak," Pak Bayan Mangun menahan langkah si polisi.

"Tapi Pak ..."

"Percayalah sama saya. Apapun yang dilakukan oleh ibu itu, itu akan sangat membantu penyelidikan yang sampeyan lakukan."

Petugas polisi itu terdiam. Kedua matanya terus mengawasi si perempuan yang kini berjongkok di tepian lubang sambil tangannya menekan nekan tumpukan tanah bekas galian.

Orang aneh! Batin si polisi. Orang orang desa Kedhung Jati memang terkenal aneh, seaneh desa yang mereka tempati. Jadi petugas polisi itu sudah tak begitu heran lagi.

Si perempuan berkacamata itu lalu kembali berdiri dan melangkah menjauh dari bibir lubang, sambil tangannya meremas remas segenggam tanah di tangannya.

"Tak apa Mas," perempuan itu berkata lembut kepada Mas Joko. "Turunlah! Sudah tak ada apa apa lagi dibawah sana, kecuali mungkin sampah."

"Tapi Bu ...," enggan Mas Joko untuk melanjutkan ucapannya, mengingat akan siapa perempuan yang tengah bicara kepadanya itu.

"Percayalah Mas. Andaipun ada sesuatu yang berbahaya dibawah sana, saya yakin sesuatu itu telah pergi kini. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," ujar si perempuan berkacamata itu lagi.

Mas Joko tak bisa mengelak lagi. Kata kata si perempuan berkacamata itu sangat pantas untuk dipercaya. Tanpa ragu lagi akhirnya ia menyanggupi permintaan dari si petugas polisi itu tadi.

"Ambil apa saja yang ada dibawah sana, dan masukkan kesini. Jangan lupa kenakan dulu sarung tangan karet ini," si petugas polisi yang tadi menyuruh turun Mas Joko memberikan sebuah kantong plastik dan sepasang sarung tangan karet kepada Mas Joko, sebelum laki laki itu turun masuk kedalam lubang.

Sambil menunggu Mas Joko sampai di dasar sumur, mata petugas itu kembali mengarah kepada si perempuan berkacamata yang kini telah pergi menjauh dan nampak berbincang serius dengan seorang laki laki tua bertongkat di teras rumah Mas Joko.

"Siapa sebenarnya perempuan itu Pak? Kenapa sikapnya agak aneh?" Bisik si petugas kepada Pak Bayan Mangun yang berdiri disebelahnya.

"Bu Guru Ratih," jawab Pak Bayan Mangun pelan, sambil ikut melirik ke arah si perempuan berkacamata.

Bersambung

WULAN SEASON 2 : SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang