"Siapa perempuan itu Pak?" Bisik si petugas polisi kepada Pak Bayan Mangun yang berdiri di sebelahnya.
"Bu Guru Ratih," Pak Bayan Mangun menjawab pelan, sambil ikut melirik ke arah si perempuan berkacamata yang kini nampak berbicara serius dengan seorang laki laki tua bertongkat di teras pondok Mas Joko.
"Bu Guru Ratih?!" Si petugas polisi mengerutkan alisnya. "Seperti pernah dengar nama itu."
Pak Bayan Mangun menoleh dan menatap ke arah si petugas. "Sudah berapa lama sampeyan berdinas di kota ini?"
"Belum genap setahun Pak. Sebelumnya ..."
"Pantas saja," Pak Bayan Mangun menyela. "Desa ini Nak, dengan segala misteri yang menyelimutinya, sampeyan harus mulai membiasakan diri dengan semua ini."
"Maksudnya Pak?" Kini gantian si petugas yang menatap ke arah Pak Bayan dengan tatapan tak mengerti.
"Ada baiknya sampeyan melibatkan perempuan itu dalam penyelidikan kasus ini. Itu juga kalau ..."
"Pak!" Seruan dari petugas lain dari arah bibir lubang sumur memaksa kedua aparat itu untuk menyudahi obrolan mereka. Keduanya lalu mendekat ke arah sumur, dimana si petugas yang berseru tadi sedang mengerek sesuatu dari dalam lubang dengan menggunakan tali tambang dan katrol.
"Apa yang kalian dapat?" Tegur si petugas pertama pada petugas kedua yang masih sibuk menarik tali tambang.
"Hanya cangkul, linggis, dan ..., ini Ndan!" Si petugas kedua menunjukkan benda benda yang telah berhasil dikereknya keatas kepada sang komandan.
"Apa itu?" Si komandan berusaha memungut bungkusan kain kumal sebesar kepala berwarna putih kecoklatan itu, namun tangannya segera ditepis oleh Pak Bayan.
"Jangan disentuh dulu!" Seru Pak Bayan. "Yud! Tolong panggil Pak Modin! Ah, jangan! Jangan Pak Modin! Beliau sudah terlalu sepuh untuk keluyuran di tempat seperti ini! Panggil Bu Ratih saja! Suruh cepat kesini! Penting!"
Mas Yudi yang mendapat perintah segera ngibrit ke pondok Mas Joko. Tak lama, iapun kembali bersama dengan Bu Guru Ratih.
"Ada apa Pak?" Tanya Bu Guru Ratih begitu sampai di tempat itu.
"Ada sesuatu yang sepertinya perlu sampeyan lihat Bu," jawab Pak Bayan sambil menunjuk ke arah bungkusan aneh itu.
Bu Ratih maju selangkah, lalu berjongkok di depan bungkusan kain kumal itu. Sebelah tangannya terulur perlahan, namun seruan dari sang komandan polisi menghentikannya.
"Tunggu! Jangan asal sentuh! Itu barang bukti yang mungkin saja penting! Jadi ..."
"Pak komandan!" Pak Bayan Mangun berseru tak kalah tegas. "Saya tau sampeyan yang bertanggung jawab disini. Tapi saya sudah menjadi bayan disini bahkan semenjak sampeyan belum dicetak di rahim ibu sampeyan. Jadi ..."
"Tak apa Pak," Bu Ratih berujar lembut, berusaha untuk menengahi ketegangan itu. "Sedikit banyak saya juga tau SOP polisi saat sedang bertugas. Dan saya juga sama sekali tak bermaksud untuk menyentuh barang bukti ini. Tapi, tolong ijinkan saya untuk melihat benda ini sebentar saja."
Komandan polisi itu terdiam sejenak. Ucapan perempuan yang dipanggil Bu Ratih itu terdengar begitu lembut, namun berkesan tegas dan penuh wibawa, membuat petugas polisi itu tak kuasa untuk membantahnya.
"Baiklah," kata sang komandan akhirnya, sambil menoleh ke arah beberapa orang anak buahnya. "Kalian, bisa tolong bawa senter kemari?"
Salah seorang petugas segera mengarahkan sorot senternya ke arah benda aneh itu, sementara Bu Ratih kembali mengulurkan tangan kanannya kedepan. Direntangkannya telapak tangan itu sejengkal diatas bungkusan aneh itu. Dibalik lensa kacamatanya, sepasang mata lentiknya terpejam untuk sesaat. Pak Bayan memperhatikan apa yang dilakukan oleh guru cantik itu dengan wajah tegang. Sementara para petugas hanya bisa saling pandang, tak mengerti dengan apa yang telah dilakukan oleh si perempuan berkacamata.
KAMU SEDANG MEMBACA
WULAN SEASON 2 : SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
HororMereka yang tak kasat mata, mungkin (memang) tak bisa menyentuh dan menyakiti manusia. Tapi mereka bisa mempengaruhi hati dan pikiran kita. Dan jika hati dan pikiran manusia telah dipengaruhi oleh mereka, maka manusia bisa melakukan apa saja. Termas...