Menutup kembali lubang sedalam lebih dari limabelas meter bukanlah hal yang mudah. Butuh usaha keras dan waktu yang lumayan lama. Apalagi hanya dilakukan oleh segelintir orang.
Warga yang awalnya berkerumun di sekitar lokasi, begitu mendengar Pak Bambang berkata butuh bantuan, seperti dikomando langsung membubarkan diri dengan berbagai alasan yang terkesan dicari cari.
Praktis, hanya Mas Joko, Mas Yudi dan Mas Toni yang entah dengan sukarela atau terpaksa bersedia melakukan tugas berat itu, dibantu oleh beberapa petugas anak buah Pak Bambang yang sebenarnya justru lebih banyak merepotkan daripada membantu.
Hingga menjelang maghrib, lubang yang dalam itu akhirnya tertutup dengan sempurna. Namun begitu, Pak Bambang tak lantas langsung bisa melenggang pulang. Tak enak rasanya kalau ia tak ikut hadir dalam acara tahlilan yang akan diadakan di rumah almarhum Pak Jarwo selepas Isya' nanti.
Sambil menunggu waktu, ia singgah di pondok Mas Joko. Sekedar numpang istirahat menikmati secangkir kopi yang dihidangkan oleh Mbak Romlah sambil ngobrol ngobrol dengan si tuan rumah. Entah mengapa, ia merasa lebih nyaman istirahat di pondok kayu itu daripada di rumah gedhong milik keluarga Pak Jarwo.
Acara tahlilan berjalan lancar. Hampir semua warga desa Kedhung Jati hadir, hingga rumah Pak Jarwo yang biasanya sepi itu menjadi semarak dan terang benderang. Pak Bambang mencoba memasang mata dan telinga baik baik, berharap bisa mendapatkan informasi tambahan dari obrolan obrolan ringan para warga.
Tapi sialnya, bukan info penting yang ia dapat, tapi justru gosip yang diucapkan dengan setengah berbisik oleh para warga tentang perdebatannya siang tadi dengan Pak Bayan Mangun. Sebagian warga berpendapat, Pak Bayan sebenarnya hanya merasa kesal dan kurang dihargai karena tak dilibatkan dalam penyelidikan. Namun tak sedikit juga warga yang membenarkan ucapan Pak Bayan. Tindakan untuk menutup kembali lubang galian sumur itu adalah hal yang salah dan justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Ah, Pak Bambang mendesah. Pening kepalanya memikirkan kasus yang baru pertama kali ini ia temui. Kasus yang sama sekali belum mendapatkan titik terang. Baru menelurkan dugaan dugaan yang semakin dipikirkan justru semakin menimbulkan pertanyaan baru.
Hari semakin malam. Satu persatu wargapun pamit pulang. Demikian juga dengan Pak Bambang. Perlahan lahan ia menjalankan sepeda motor dinasnya menyusuri jalanan desa yang sepi itu. Masih sempat ia mendengar Mas Joko berpesan agar membunyikan klakson saat memasuki jalan turunan di area Tegal Salahan.
"Huh! Dasar orang kampung! Di zaman serba maju seperti ini, masih saja percaya dengan segala macam klenik dan hantu belau! Memangnya siapa yang harus aku klakson di jalanan yang sepi seperti ini? Ada ada saja!" Pak Bambang bergumam seorang diri untuk mengatasi rasa sepi yang dirasakannya.
Mendapat mandat untuk bertugas di daerah terpencil seperti ini memang bukan hal yang menyenangkan. Tapi tugas tetaplah tugas! Mau tak mau ia harus menerima dengan lapang dada. Ia hanya tak mengira, kalau akan disambut dengan kasus yang seberat ini.
Sepeda motor yang dikendarainya terus melaju pelan, menembus kegelapan. Entah mengapa, area di jalanan yang mulai menurun ini dibiarkan gelap tanpa penerangan. Padahal di sepanjang jalan yang ia lalui tadi, ada lampu penerangan yang terpasang di sisi kiri dan kanan jalan. Hanya di area sekitar turunan dan tanjakan ini saja yang dibiarkan gelap tanpa penerangan.
Hanya lampu dari sepeda motornya saja yang bisa ia andalkan untuk menuntun laju motornya yang mulai menuruni jalanan yang terjal itu. Lampu yang semakin lama terasa semakin meredup, lalu berkedip kedip, dan akhirnya...Mati! Seiring dengan mesin sepeda motornya yang juga mulai tersendat sendat, dan untuk selanjutnya juga... Mati!
Sial! Kenapa disaat seperti ini...? Pak Bambang membiarkan motor dinasnya itu menggelinding tanpa suara, membawa tubuh kekarnya itu menuruni jalan menurun tajam yang terjal itu. Hingga sampai diujung turunan, laju motor melambat, untuk akhirnya benar benar berhenti tepat diatas sebuah buk(jembatan kecil) yang melintang diatas kali kecil dengan airnya yang mengalir bergemericik disela sela bebatuan kali.
Pak Bambang lalu berusaha menstarter sepeda motornya itu. Namun sia sia. Starter elektrik tak mampu menyalakan mesin motor itu. Demikian juga engkol yang ia selah dengan kaki sampai beberapa kali, hanya menghasilkan butiran butiran keringat dingin yang bercucuran membasahi dahinya.
"Sial!"Pak Bambang lalu menstandartkan sepeda motornya, membuka jok dan mengambil senter dan kunci busi yang tersimpan di dalamnya. Sambil berjongkok laki laki itu lalu memeriksa mesin motor yang sebenarnya belum terlalu tua itu.
"Tak biasanya ini motor mogok! Ada ada saja!" Pak Bambang terus menggerutu sambil mengotak atik mesin motor itu. Beberapa kali busi ia lepas, bersihkan, dan pasang lagi, lalu kembali berusaha menstarternya. Tapi tetap saja motor sialan itu tak mau menyala.
"Benar benar sial!" akhirnya Pak Bambang menyerah. Tak guna sepertinya ia berusaha memperbaiki motor dinasnya itu. Dia memang bukan orang yang ahli dalam hal permesinan. Akhirnya laki laki itu memilih untuk duduk diatas buk, menyalakan sebatang rokoknya, lalu mengeluarkan ponselnya. Ya. Sepertinya ia harus menghubungi anak buahnya dan minta untuk dijemput. Segan rasanya kalau ia harus kembali merepotkan dan minta bantuan warga. Seharian ini saja, ia sudah banyak merepotkan warga. Padahal kehadirannya di desa itu adalah untuk membantu warga, bukan minta dibantu oleh warga.
"Wedhus!" Laki laki itu kembali mendengus kesal. "Desa macam apa ini?! Bahkan sinyal ponselpun tak ada!"
Pak Bambang kembali mengantongi ponselnya. Ia mendesah. Sepertinya ia memang harus mendorong motor sialan ini menaiki tanjakan yang curam dan terjal ini hingga sampai di area perumahan warga diatas sana. Siapa tau masih bisa bertemu dengan petugas ronda yang bersedia untuk menolongnya.
Sambil menunggu sisa rokok yang dihisapnya habis, Pak Bambang menatap tanjakan yang terjal itu. Pasti butuh tenaga ekstra untuk mendorong motor menaiki tanjakan yang terjal itu.
"Whusss...!!! Klepek...!!! Klepek...!!! Klepek...!!!" Pak Bambang terjingkat kaget, saat tiba tiba sesuatu terasa melintas terbang dibelakangnya. Melintas tepat dibelakang tengkuknya, hingga sambaran angin yang dihasilkan oleh kepakan sayap dari sesuatu yang terbang melintas itu sangat terasa menerpa tengkuknya. Dingin dan menusuk, membuat bulu kuduknya tiba tiba berdiri meremang. Pelan pelan Pak Bambang menoleh ke belakang sambil mengusap tengkuknya yang tiba tiba merinding itu.
"Asem!" desis Pak Bambang saat tak mendapati apapun dibelakangnya. Senter ia arahkan ke segala arah. Namun hanya aliran air di dasar sungai yang nampak. Juga rumpun tanaman pisang yang tumbuh subur di tanggul sungai.
"Ah, mungkin kelelawar," gumam Pak Bambang sambil kembali duduk dan menikmati sisa rokoknya.
"Whuusss...!!! Klepek klepek klepek...!!!"
"Eh...?!" kembali Pak Bambang tersentak kaget, saat makhluk terbang itu menyambar kepalanya. Laki laki itu bermaksud untuk berdiri dan segera meninggalkan tempat yang membuat bulu kuduknya merinding itu.
Namun belum juga pantatnya terangkat dari dasar buk, tengkuknya kembali merinding. Sangat jelas terasa, ada sesuatu yang sedang meniup tengkuknya. Seperti hembusan nafas yang teratur, menghembuskan uap dingin yang membuat buku kuduk komandan polisi itu semakin meremang.
Pelan pelan Pak Bambang berdiri dari duduknya, lalu dengan tangan kanan meraba pistol yang terselip di pinggang dan tangan kiri menggenggam senter, Pak Bambang berbalik dengan cepat, dan...
"WHUAAAAAAAAA....!!!"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
WULAN SEASON 2 : SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
TerrorMereka yang tak kasat mata, mungkin (memang) tak bisa menyentuh dan menyakiti manusia. Tapi mereka bisa mempengaruhi hati dan pikiran kita. Dan jika hati dan pikiran manusia telah dipengaruhi oleh mereka, maka manusia bisa melakukan apa saja. Termas...