"Kamu serius Dik?" Pak Slamet menatap sang istri yang masih berdiri terpaku menatap kepergian para warga yang membawa mayat Lik Diman ke pemakaman. "Wak Dul sudah terlalu sepuh lho. Tugas seperti ini sepertinya terlalu berat buat beliau. Apa tidak sebaiknya ...."
"Aku paham Mas. Tapi aku tak punya pilihan. Lagipula masih ada Ramadhan. Aku yakin anak itu tak akan tinggal diam kalau tau Wak Dul akan 'bekerja'," sela Bu Ratih sambil berbalik dan mendekat ke arah sang Suami yang tengah menggendong Ratri sang anak. Dibelainya lembut rambut gadis kecil itu, lalu dengan lembut pula dikecupnya dahi sang anak dengan penuh kasih.
"Ratri, malam ini sama bapak dulu ya, ibu masih ada kerjaan yang harus diselesaikan," bisik perempuan itu pelan.
"Apa sebenarnya yang sedang kau rencanakan Dik?" lagi lagi Pak Slamet menatap sang istri.
"Makhluk itu Mas," desah Bu Ratih. "Makhluk yang tadi merasuki mayat Lik Diman, berhasil kabur. Aku takut ia mengusik ketenteraman warga desa malam ini. Karena itulah aku menyerahkan urusan di pemakaman kepada Wak Dul, karena aku berencana untuk mengejar makhluk itu."
"Makhluk? Makhluk apa maksudmu?" tanya Pak Slamet tak mengerti.
"Apa Mas pikir mayat Lik Diman bisa sampai kesini dengan sendirinya? Ada yang membawanya Mas. Dan bahkan tadi sempat hampir mencelakai Pak Bambang kalau saja kita tidak kebetulan datang. Dan yang aku rasakan saat bentrok dengannya tadi, aku yakin makhluk itu sangat berbahaya."
"Jadi?"
Bu Ratih menghela nafas sejenak. Berat rasanya kalau ia harus membiarkan sang suami beserta sang anak sendirian, sementara suasana desa sedang tidak aman. Tapi desa ini lebih membutuhkan dirinya. Mau tidak mau, siap atau tidak, ia harus bertindak, sebelum keadaan semakin memburuk.
"Tolong malam ini sampeyan jaga Ratri ya Mas. Aku akan mencoba menghentikan makhluk itu. Dan kalau terjadi sesuatu, sampeyan tau kan apa yang harus dilakukan?" ujar Bu Ratih akhirnya, dengan suara pelan.
Kini giliran Pak Slamet yang menghela nafas panjang. Ia sadar, besar resikonya memiliki istri seperti Ratih. Dan meski sedikit banyak ia tau akan kemampuan sang istri, tetap saja rasa khawatir selalu ada setiap sang istri menghadapi masalah masalah yang seperti ini.
"Kamu yakin ndak mau Mas temani?"
"Bukan tak mau Mas. Tapi siapa yang akan menjaga Ratri?"
"Kita bisa titipkan kepada Wak Karni atau bapak. Jujur, Mas ndak tega kalau kamu pergi sendirian."
"Ratri anak kita Mas. Kita yang berkewajiban untuk menjaganya. Lagipula, percayalah, aku bisa menjaga diri kok. Mas ndak perlu khawatir."
"Ya sudah kalau begitu," ujar Pak Slamet akhirnya. "Tapi janji ya, jaga diri baik baik. Jangan nekat, dan pastikan kamu pulang dengan selamat."
"Ya. Aku berjanji Mas," perempuan itu tersenyum lembut ke arah sang suami yang kini telah naik kembali keatas jok motornya. "Ingat, lakukan yang perlu dilakukan jika terjadi sesuatu hal yang buruk Mas."
Pak Slamet mengangguk pelan, lalu pelan pelan juga laki laki itu menjalankan motornya menaiki jalan tanjakan yang menuju ke arah desa, meninggalkan Bu Ratih yang masih berdiri menatapnya sampai bayangannya menghilang diatas tanjakan.
Perempuan itu kembali menghela nafas, lalu memejamkan kedua mata beningnya. Selintas angin sepoi berhembus menerpa wajahnya, menggoyangkan anak rambutnya yang menjuntai di dahi. Tarikan nafasnya terdengar teratur, seiring dengan kedua bahunya yang turun naik berirama. Indera pendengarannya menyaring kesunyian yang menyelimuti suasana di sekitarnya. Hingga beberapa detik kemudian, kedua mata itu kembali terbuka. Tak ada lagi sinar kelembutan. Sepasang bola mata itu kini berubah menjadi berkilat tajam. Dan seulas senyum tipis tersungging di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WULAN SEASON 2 : SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
HorrorMereka yang tak kasat mata, mungkin (memang) tak bisa menyentuh dan menyakiti manusia. Tapi mereka bisa mempengaruhi hati dan pikiran kita. Dan jika hati dan pikiran manusia telah dipengaruhi oleh mereka, maka manusia bisa melakukan apa saja. Termas...