2. Banyak Wanita

367 41 10
                                    

Pertemuan awal kita memang dari kebetulan, tapi mengapa hanya sekadar bertemu? Kenapa tidak dengan kita punya cerita bersama?

* * *

"LO ABIS CIUM CEWEK LAGI?" teriak Kaafi—sahabat Arkha, suaranya semakin meninggi ketika mengetahui itu. Buku yang tengah dibacanya hampir terlempar, melayang sejenak sebelum dia menangkapnya kembali. Tatapan tak percaya terpampang di wajahnya, dan dia menatap Arkha, menunggu jawaban.

Sementara itu, Arkha, yang baru saja diberi pertanyaan, memakai hoodie biru dengan tudung yang meliputi kepalanya. Duduk bersandar santai di tembok rooftop rumahnya, ia menghirup sebatang rokok di tangannya dengan dalam. Mendengar pertanyaan tajam dari Kaafi, Arkha menoleh, tatapannya bertemu dengan Kaafi, dan ia mengangguk perlahan. Membenarkan kebingungan sahabatnya itu.

"Siapa?"

Arkha menaikkan kedua alisnya sebagai respons. "Gue gak tau namanya," jawabnya dengan nada datar.

"Bego, lo ciuman sama cewek tapi gak tau namanya. Otak lo ditaruh di mana sih?!" Kaafi menggelengkan kepalanya sambil berdecak, keheranannya tercermin jelas dari ekspresi wajahnya.

"Biar gue tebak pasti Tamara kan cewek yang bodinya meliuk-liuk itu, yang itunya ...," Lintang, dengan nada canda, menyahut. Ucapannya tergantung di udara sejenak, menciptakan keheningan sebelum ia melanjutkan dengan tawa sendiri.

"Itunya apa? Omongan lo ambigu," timpal Kaafi, walaupun tahu betul apa yang sedang terlintas di benak Lintang, terutama pikiran yang tak senonoh.

"Yang itunya ... gede," tawa Lintang semakin meluas, memecah keheningan rooftop dengan gelak tawa yang terus terdengar.

Arkha tetap bungkam, seolah tak terpengaruh oleh celetukan dua sahabatnya di depannya.

Sambil terus menikmati setiap hisapan rokoknya, Arkha meresapi asap yang masuk ke dalam paru-parunya. Tetapi, ketika matanya melirik ke kanan, ia melihat sahabat ketiganya dengan kening berkerut.

Arkha menyipitkan mata, berusaha mencerna sesuatu di depannya dengan lebih jelas. "Lo pake narkoba lagi, Ri?" tanyanya, terkejut melihat temannya tersebut dengan seenak jidat menggunakan barang terlarang itu di rumahnya.

Rion, sambil memegang sendok, membakar punggung sendok tersebut dengan api dari pematik yang dipegangnya. Ia memejamkan mata, menyerap uap perlahan seolah menikmati setiap embusan dari objek yang tengah ia bakar.

Rion tak langsung merespons pertanyaan Arkha. Setelah sejenak, ia melemparkan pandangan singkat ke arah Arkha, lalu kembali menyelam dalam aktivitasnya. Senyum tak suka menghiasi wajahnya, seolah mengisyaratkan bahwa pertanyaan tersebut tidak selamat dari ketidaksetujuannya.

"Iya, gue pake, kenapa? Senggaknya gue masih menghargai cewek. Gue lebih pilih badan gue yang hancur daripada badan semua cewek Charitas yang bentar lagi gak ada harga dirinya karena mau aja ciuman sama lo," sahut Rion tanpa ragu.

Arkha terdiam, merasakan sindiran tajam tersebut menusuk. Semakin dalam dia menghirup asap rokok, dan perlahan mengembuskannya lagi. "Terserah lo mau bicara apa. Asal lo jangan pake narkoba lagi di rumah gue dan tiba-tiba polisi datang ke sini," balasnya dengan dingin, tanpa menunjukkan reaksi lebih lanjut.

Arkha berdiri tiba-tiba, merundukkan tubuhnya untuk menjatuhkan dan menginjak rokok yang sekarang terbakar di bawah sepatunya. Dengan langkah-langkah tegas, ia meninggalkan ketiga sahabatnya di rooftop. Suasana hatinya menjadi suram seketika setelah mendengar ucapan Rion tentang dirinya.

Arkha mendengkus dengan rasa malas yang tergambar di wajahnya. Meskipun Rion selalu berbicara seolah-olah dia membenci Arkha karena dengan mudahnya membuat cewek-cewek di kampus bersedia melemparkan diri padanya. Tapi Arkha sendiri sebenarnya tidak pernah melarang laki-laki itu melakukan apa pun. Termasuk kebiasaan Rion menggunakan narkoba yang tidak akan pernah Arkha bocorkan ke siapa pun.

"Arkha, lo mau kemana?" teriak Lintang dari belakang, ekspresinya mencerminkan kebingungan melihat Arkha tiba-tiba pergi.

Arkha menoleh ke arah Lintang. "Kamar gue," ucapnya singkat, tanpa menambahkan kata-kata lain. Dengan langkah mantap, ia melenggang pergi, membiarkan suasana rooftop yang suasananya berubah menjadi rumit. Percuma saja berada di sana, merespons ucapan Rion, karena sepertinya selama ini sahabatnya itu belum mampu menerima kebiasaannya yang dekat dengan banyak wanita.

* * *

Wajib vote dan kasih komentar kalian di sini!

Aku bakal semangat lanjut kalau kalian kasih komentar😍❤

Happy reading guys!❤❤

Follow IG dan Tiktok aku @erlitascorpio

Flow EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang