4. Sial Lagi

324 41 21
                                        

Vania teringat betul akan kejadian di kantin yang tak pernah ia duga sebelumnya. Arkha duduk tak jauh darinya, mata tajamnya memfokuskan pandangan tanpa kata-kata yang terucap. Kikuk, rasa tak nyaman menyergap Vania. Tidak pernah terbayangkan bahwa dirinya akan menjadi pusat perhatian seperti ini. Seandainya saja dia adalah salah satu penggemar Arkha, mungkin Vania sudah menjerit histeris. Tapi kenyataannya, perhatian Arkha hanya membuatnya merasa kaku dan bingung.

Hari ini adalah hari kesialan baginya. Seharusnya, sejak awal, ia mendengarkan nasihat Miss Dea untuk menunggu Tamara kembali ke kelas. Namun, hukum alam tampaknya telah menentukannya untuk melihat Tamara dan Arkha berdua di toilet.

Mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku kuliahnya, Vania merenung dalam memahami kembali materi yang baru diajarkan oleh dosen. Meskipun suasana di sekitarnya riuh dengan suara tawa, obrolan mahasiswa, dan gosip yang berkeliaran, Vania masih menyempatkan diri untuk belajar. Baginya, belajar adalah kebutuhan sehari-hari, seolah makanan yang harus dia konsumsi. Tanpanya, rasanya seperti kelaparan.

"Kenapa ini harus terjadi ke gue? Gue gak mau lihat pemandangan menjijikkan kayak Arkha dan Tamara yang asyik sama urusan mereka."

Sejak tadi, Vania merutuk nasib sialnya. Dia tenggelam dalam pemikiran sendiri, mengabaikan keriuhan di sekelilingnya, termasuk perdebatan tak berujung antara dua sahabatnya, Pamela dan Alvieta. Tak peduli topiknya apa pun, pasti akan ada pertentangan di antara keduanya.

"Ta, muka gue kucel gak? Berminyak gak? Gue perlu cuci muka gak sih? Atau gue pake make up aja?" tanya Pamela, memeriksa dirinya di cermin sambil memandangi Alvieta.

Alvieta melongo, menatap Pamela dengan sinis. "Lo nanya satu-satu jangan nyerocos aja kerjaannya. Muka lo udah cantik mau diapain lagi sih, pake make up berlapis-lapis juga gak bakalan berubah jadi Selena Gomez."

"Ta, kan gue cuma nanya doang," balas Pamela, mengerucutkan bibirnya.

"Makanya jangan berisik aja deh, jangan ganggu gue lagi sibuk." Alvieta kembali fokus pada layar ponselnya.

Pamela mendecak. "Alah, sok sibuk banget lo. Gue tau lo lagi stalker pacar cowok yang lo suka, kan? Gak usah ngelak lagi," ejeknya.

"Udah tau gak usah diomongin, emang gue selalu stalker cewek yang pengen banget gue tenggelamkan. Gue mau pakein dia masker sambal biar dia gak sok kecantikan lagi."

"Sabar aja sih, Ta. Kalau doi jodoh sama lo, dia gak bakalan lari kemana-mana kok. Tuhan tau mana yang terbaik buat lo. Keep calm aja," ucap Pamela dengan senyuman.

"Tumben baik. Kesambet setan apa lo?" goda Alvieta.

"Baik salah, marah salah, jahat salah, semuanya salah," dramatisasi Pamela. "Kapan gue benernya, ya Allah?"

Alvieta tertawa. "Lebai lo, Kaleng."

"Apaan lo panggil gue kaleng, Botol?!" bantah Pamela kesal.

"Karena lo nggak ada bodinya," goda Alvieta sambil tertawa. "Lurus, gak ada belokannya sama sekali."

Pamela mendelik. "Botol dasar."

"Apaan?" tanya Alvieta sambil mengangkat alisnya.

"Botak tolol."

"Bahasa lo kasar. Kalau kedengeran Vania, mampus," ancam Alvieta.

Pamela melirik Vania yang masih sibuk membaca bukunya. Ia lupa kalau berbicara kasar di dekat Vania pasti akan mendapat teguran. Sekarang Vania menatapnya tajam. "Awas aja kalau kayak gitu lagi," ancam Vania sebelum kembali fokus pada bacaannya.

Pamela memutar bola matanya, malas. "Begitu doang sensi banget."

"Mel, gue masih denger nih!" teriak Vania.

Alvieta tertawa di belakang.

Pamela melirik Alvieta sebal dan Alvieta hanya mengucapkan kata mampus tanpa suara kemudian melanjutkan kembali tawa yang tadi tertunda.

* * *

Jangan lupa berikan dukunganmu. Vote dan komentar wajib hukumnya supaya cerita ini bisa lanjut lagi❤

Happy reading❤

FOLLOW IG DAN TIKTOK AKU @ERLITASCORPIO

Flow EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang