9. Tersiksa

275 32 11
                                    

Rion dan Vania sudah turun dari angkutan umum. Kini mereka sedang berjalan menuju rumah Vania. Vania kira dia akan diam saja pulang kuliah tadi, seperti biasanya hanya menatap jalan tanpa membuka suara sedikitpun. Karena memang dia pulang sendiri, bahkan tak ada mahasiswa Charitas yang searah dengan rumahnya.

Vania yakin tidak ada mahasiswa Charitas yang mau pulang panas dan desak-desakan di angkutan umum. Tapi, ternyata pulang kuliah hari ini ada Rion. Cowok itu terus mengajaknya mengobrol dan bercanda. Cukup untuk memecahkan keheningan.

"Makasih ya, ngerepotin banget diantar sampai depan rumah segala," ucap Vania saat mereka sudah sampai di depan rumah Vania yang begitu besar dengan halaman yang luas.

Rion melihat rumah dengan desain sederhana terlihat dari interior yang klasik namun elegan. Halaman yang dipenuhi tanaman hias indah serta penuh warna. Cukup menggambarkan bagaimana isi rumahnya. Yang sebenarnya tidak cocok kalau cewek itu pulang naik angkutan umum karena terlihat jelas Vania bisa saja dijemput oleh seorang supir.

"Gak apa-apa gue seneng kok anterin lo pulang," balas Rion tersenyum.

Vania memegang hidungnya sendiri, mendadak salah tingkah seperti ini. "Maaf ya gak bisa ajak lo masuk. Langsung pulang?"

"Iya santai aja," kata Rion. "Kebalik kali, harusnya gue yang minta maaf, bener kata lo tadi, gue harusnya anterin lo naik motor. Tapi sorry, motor gue lagi di bengkel.”

"Gak masalah." Vania mengangguk. "Gue masuk dulu ya, hati-hati."

Setelah itu mereka berpisah. Vania juga membuka pintu rumahnya dengan pelan. Jujur saja ada ketakutan di sana. Dia tak biasa pulang bersama laki-laki. Saat pintu itu Vania tutup kembali, dia bernapas lega. Ternyata di rumahnya tidak ada orang. Lalu dia berjalan santai menuju kamarnya di lantai dua.

"Siapa laki-laki yang antar kamu pulang?"

Suara itu menghentikan langkah Vania. Ia berbalik badan dan mendapati papanya yang seperti menahan marah. Arya, papa Vania itu berjalan mendekati putri tunggalnya dengan berapi-api. Orang tua satu-satunya yang ia miliki sekarang.

Vania masih terkejut. "Maaf, Pa, cuma teman Vania kok."

"Bohong."

Tangan Arya menangkup paksa wajah putrinya itu. Vania meringis kesakitan. Kemudian dagu Vania sudah terangkat menghadap Arya.

"Bukan siapa-siapa, Pa. Dia cuma teman Vania."

Arya tetap bungkam. Dia tak peduli dengan alasan yang Vania ucapkan, sampai kapanpun. Dia menarik tangan Vania kasar dan menyeret putrinya itu ke kamar Vania di lantai dua.

Vania semakin menangis, pertahanannya luruh. Semenjak perceraian kedua orang tuanya, papanya itu selalu berubah-ubah emosinya. Dengan kencang, Arya mendorong Vania ke dalam kamar. Dan langsung mengunci pintu kamar itu dari luar. Vania di dalam mengetuk pintu dengan kencang sambil berkata, "Pa, tolong buka! I'm not a child anymore who has to be punished all the time."

"JANGAN PERNAH BERHARAP KELUAR DARI KAMAR SEBELUM KAMU PAHAM UNTUK TIDAK DEKAT SAMA LAKI-LAKI!!"

Vania berusaha membuka pintu tapi papanya tetap memberinya hukuman. Ini sudah kelewat batas. Terkadang Vania sudah lelah menghadapi kehidupannya ini karena tanpa semua orang tahu, di rumahnya Vania merasa tersiksa.

Tidak boleh pacaran. Tidak boleh punya sembarang teman. Tidak boleh pergi bersama orang lain kecuali papanya.

Semua hal yang Vania lakukan harus sesuai dengan keinginan Arya. Kalau tidak ... Vania akan berakhir dihukum.

Seperti sekarang. Seperti ia masih seorang anak kecil di mata papanya.

* * *

Hai guys!!

Aku minta maaf ternyata sebelumnya ada kesalahan, udah aku revisi. Vania itu kuliahnya Seni Teater yaa

Next??

Wajib kasih vote dan komentar yang banyak!!!

Kalau nggak, aku akan lama lanjut cerita ini

Thank youuu

FOLLOW IG DAN TIKTOK
@erlitascopio

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Flow EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang