"Udah aman belum ya?" tanya Vania. Matanya memastikan keadaan sekitarnya sudah aman. Tapi ia juga tidak tahu apakah demo yang terjadi di dekat kampusnya ini masih berlangsung atau tidak. "Gue mau pulang, udah sore banget."
Vania tidak ingin menunggu balasan dari cowok yang baru saja ia kenal. Tidak perlu panjang lebar lagi. Tadi Vania membantu membersihkan luka cowok itu juga sebagai bentuk rasa terima kasih karena telah menolongnya dari keributan itu.
"Eh, tunggu!" Tetapi suara Rion menghentikan langkah Vania dan tangan cowok itu pun mencoba menahannya. "Gue temenin, ya?"
Vania menoleh, membalikkan badannya kembali tepat pada cowok di dekatnya. "Gak usah, ngerepotin lo. Dan gue juga gak biasa dibonceng cowok naik motor."
Alis Rion bertemu. Detik selanjutnya dia tertawa terbahak-bahak. Vania melihatnya bingung, apa ada yang salah dengan ucapannya? Tapi Vania rasa tidak.
"Emang siapa yang nawarin bonceng?" ucap Rion masih disertai tawa.
Vania membelalakkan matanya. "Lho, terus apa dong? Bukannya lo tadi mau nganterin gue pulang?"
"Kan gue bilang temenin bukan anterin. Minum air dulu sana biar fokus lo gak hilang. Temenin bukan berarti naik motor dong," kata Rion gemas. Namun ia tetap menjelaskan maksudnya kepada Vania yang belum paham juga.
"Ya," ucap Vania masih setengah bingung. "Terus maksud lo temenin gue itu gimana?"
"Lo mau naik apa?" tanya Rion, mengangkat kedua alisnya.
"Kalau gue biasa naik angkutan umum," balas Vania.
"Ya udah berarti pulang naik angkutan umumnya bareng gue," kata Rion. "Ayo buruan!"
"Buat apa dianterin, gak usah gue bukan anak kecil kok. Masih bisa jaga diri," Vania kini sedikit mendongak, menatap mata Rion, karena cowok itu lebih tinggi dari dirinya.
"Hal kejahatan itu gak mengenal usia, waktu, di mana-mana bisa terjadi, kapan aja, bahkan lansia juga bisa kena kejahatan, dan bentuk kejahatan itu banyak. Daripada nanti lo kenapa-kenapa, kan gak ada yang tau."
Rion sudah berjalan duluan. Vania masih terdiam di tempatnya bingung. Rion yang tidak merasakan Vania ada di dekatnya menoleh. Melihat cewek itu yang tidak berubah tempat sama sekali. Lalu Rion berjalan mendekati Vania.
"Ayo!" ajak Rion menarik tangan Vania. "Kita lewat sana aja, gue lupa di situ pasti masih ada yang demo."
"Eh, tapi ...," Vania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gimana ya, maksud gue gak perlu lo antar karena rumah gue jauh dari sini. Dan gak langsung naik angkutan umum sih, harus jalan dulu. Pokoknya capek deh."
"Lo kira gue apa?" kata Rion. "Hal kayak gitu sepele buat gue."
Vania menghela napasnya. "Ya udah deh, ayok!"
Akhirnya, mereka berdua berjalan. Keheningan sesaat yang tercipta. Mereka menelusuri jalan dalam kecanggungan masing-masing. Sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
Rion menggosokkan kedua tangannya seolah dia sedang kedinginan, padahal ia bingung memulai percakapan lebih dulu, berdeham pelan. "Kok gue gak pernah liat lo ya?" tanyanya menoleh ke Vania.
Vania diam. Tak acuh pada pertanyaan Rion. Lagi-lagi Rion semakin merasa canggung.
"Kok gue gak pernah tau lo ya?" tanya Rion lagi berharap mendapat jawaban dari cewek di sebelahnya.
Vania menautkan kedua alisnya, menatap Rion. "Ngapain harus liat? Ngapain harus kenal gue? Gue juga gak penting kok," ucapnya sambil mengeratkan pegangan tasnya. Arah pandangnya selalu beralih ke sana-ke mari, tak tentu arah. Karena ini pertama kalinya dia ditemani pulang oleh seorang laki-laki.
"Ya, kita kan satu kampus masa gue gak tau," Rion mengembuskan napasnya. "Kalau Arkha pasti lo tau, kan?"
Vania mengangguk ragu. "Tau sih."
"Udah gue duga, siapa coba yang gak tau Arkha. Lo termasuk daftar cewek yang udah bekas dia juga ya?" ucap Rion memutar bola matanya malas.
Vania melotot tidak terima. "Gue bukan cewek yang lo maksud. Dan gue juga gak akan pernah masuk ke dalam daftar cewek bekasnya Arkha."
Rion menahan tawa. Matanya tak lepas dari perubahan ekspresi cewek di sampingnya. Entah, rasanya memandangi wajah cewek itu sangat menyenangkan, wajahnya begitu enak dipandang.
"Lo cewek pertama yang tolak Arkha sampai segitunya. Gue suka liatnya," Rion tersenyum lembut. "Jangan sampai deket sama dia, gue takut lo kenapa-kenapa."
"Lo siapanya Arkha?" tanya Vania.
"Gue sahabatnya Arkha," jawab Rion.
Vania terkejut lalu dia jadi kikuk sendiri. Merutuki kesalahannya, bagaimana bisa ia menceritakan ketidaksukaannya kepada sahabat Arkha sendiri. Siapa tahu cowok di sampingnya menceritakan kepada Arkha?
Rion yang melihat wajah Vania lalu berkata, "Gak usah takut gitu, gue di sini tolongin lo kok, biar lo gak dekat sama Arkha. Karena cuma lo yang masih sadar buat gak dekat sama dia."
"Tapi kok lo malah jelekin sahabat lo sih?"
Rion mengedikkan bahunya. "Gue bukan jelekin, cuma gak suka aja dengan cara dia yang asal cium cewek. Terus cewek-cewek itu mau aja sama Arkha. They shouldn't do that. Itu artinya dia sebagai cowok bukannya menghargai cewek tapi malah sebaliknya. Dan cewek itu juga malah merendahkan harga diri mereka sendiri."
"Gue setuju sama lo," jawab Vania tersenyum. "Nama lo siapa?"
"Oh, jadi lo mau kenalan sama gue," ucap Rion menganggukkan kepalanya. "Bukannya tadi gue gak perlu kenal lo ya?" godanya sambil tertawa.
"Sekarang gue yang mau kenalan sama lo. Gue Vania," kata Vania tersenyum lagi dengan semangat. "Lo?"
"Rion," jawab Rion tersenyum lebar. "Geroz Orion."
* * *
Jangan lupa berikan dukunganmu. Vote dan komentar wajib hukumnya supaya cerita ini bisa lanjut lagi❤
Happy reading❤
FOLLOW IG DAN TIKTOK AKU @ERLITASCORPIO
KAMU SEDANG MEMBACA
Flow Effect
Storie d'amoreBagaimana jika kamu tiba-tiba didekati playboy yang terkenal di kampus? Vania Anindyta Clarie, menyarankan hal ini untuk kamu; 1. Menghindar, 2. Pura-pura nggak lihat, 3. Pura-pura gila. * * * FLOW EFFECT. © 2024 Erlita Scorpio (erlitascorpio). All...