1. Saya Sudah Punya Suami

3.7K 40 0
                                    

Dewasa

"T-tapi saya masih p-punya suami, Om," kataku terbata pada pria dewasa nan tampan yang saat ini menatapku begitu lekat. Sorot matanya bagaikan air hujan yang menghipnotis hati yang sudah lama kering ini. Jangan tergoda Hanun. Bisik hati ini terus mengingatkan.

"Suami? Saya gak pernah lihat," balasnya santai. Mata itu kini beralih pada layar laptop di depannya, sehingga aku yang sejak tadi bernapas pendek-pendek, akhirnya dapat mengembuskan napas lega.

"Suami saya kerja di Cikarang, Om." Pria itu tertawa pendek.

"Yakin di Cikarang? Pernah ke sana?" tanyanya lagi benar-benar seperti tengah mengejekku. Tentu saja aku menggelengkan kepala. Mana pernah aku pergi ke tempat pekerjaan Mas Biru. Untuk apa? Bisa-bisa aku digampar Mas Biru jika sok tahu dengan muncul di tempat ia kerja.

"Suami saya terlalu sibuk, makanya gak pernah antar jemput saya ke resto ini, Om. Makanya Om gak pernah lihat," balasku mencoba menjelaskan.

"Oke, jadi beneran kamu gak mau jadi pacar saya? Saya baru kali ini loh, nembak cewek. Sayang sekali, saya gak pernah sempat baca CV karyawan restoran saya." Tentu saja sekali lagi aku menggelengkan kepala.

"Saya hanya ingin bekerja dengan baik di sini, Om. Jadi karyawan yang baik dan tidak pernah melanggar."

"Tapi kamu sudah kasbon tiga kali di restoran ini, padahal kamu baru kerja lima bulan." Mulut ini terkunci dan tidak membela diri. Memang aku sudah kasbon hampir separuh gajiku atas permintaan Mas Biru yang selalu saja sibuk membetulkan motor bututnya.

"Gak perlu menjawab lagi. Kamu boleh kembali bekerja."

"Baik, Om, terima kasih." Aku pun berbalik dengan cepat.

"Tunggu!" Aku menghentikan langkah dan kembali berbalik menatap dirinya. Jantung ini mendadak lemah, bila Om Leon tersenyum tipis seperti saat ini.

"Ya, Om." Aku berdebar cemas.

"Tawaran saya masih berlaku. Siapa tahu kamu berubah pikiran, bilang pada saya. Oh, iya, kesempatan kasbon sudah tidak ada lagi, kecuali kamu sakit parah atau kecelakaan dan butuh biaya besar, maka restoran bersedia membantu. Paham'kan!" Aku mengangguk yakin.

"Saya permisi, Om." Aku kembali meneruskan langkah kembali ke restoran. Keringat membanjiri tubuh ini sehingga punggung pun basah. Belum lagi bulir keringat menetes di kening dan leher. Berduaan saja di dalam ruangan Pak Leon yang biasa kami panggil Om Leon itu, membuatku seperti sedang ditanyai oleh mertuaku.

"Hanun, ponsel kamu dari tadi bunyi tuh! Angkat dulu, siapa tahu penting!" Ujar Lina memberi tahu.

"Oh, gitu, oke, makasih, Lina, tapi nanti saja aku angkatnya. Aku mau nerusin ini lagi saja." Aku kembali duduk di meja kasir sembari memeriksa bill yang sudah menumpuk di wadah kecil dekat dengan botol hand sanitizer.

Bekerja sebagai kasir tidaklah mudah. Awalnya aku sebagai waitres di restoran seafood milik Om Leon. Lalu, kasir yang lama resign, sehingga aku diminta untuk pindah menjadi kasir, berdasarkan pengalamanku menjadi kasir di minimarket sejuta umat.

Pukul sepuluh malam pun tiba. Restoran sudah mulai sepi karena sudah akan tutup. Tinggal empat meja saja yang terisi oleh pelanggan yang masih menikmati makan kemalaman mereka. Tentu saja aku tidak bisa meninggal meja kasir sebelum semua pelanggan restoran pulang.

Tepat pukul sepuluh lima belas menit, pelanggan terakhir membayar tagihannnya. Aku pun langsung tutup buku untuk hari ini dan mengucap syukur dalam hati, karena pendapatan selalu naik setiap harinya.

"Hanun, itu HP kamu bunyi terus! Ampun deh, kalau itu yang nelpon ibu atau suami kamu gimana? Kalau ada kabar duka gimana? Cepat angkat!" Kali ini Amir yang berseru dari balik ruangan ganti kami.

"Iya, ini udah mau selesai." Aku pun segera membawa uang itu untuk aku simpan ke dalam brangkas. Total dan tumpukan uang aku foto, lalu aku kirim pada Mbak Saras, selaku bendahara restoran dan juga adik dari Om Leon. Ruangan Om Leon juga sudah kosong. Aku segera memasukkan uang itu ke dalam berangkas umum yang memang hanya aku yang tahu kodenya.

Ada lima puluh panggilan tidak terjawab dari Mas Biru. Tentu saja jantungku menjadi berdebar kencang. Kutekan kembali nomornya, sambil aku melangkah ke halaman belakang.

"Halo, Mas tadi telepon ya? Maaf saya sibuk banget di restoran hari ini. Gak sempat pegang HP. Ada apa, Mas?"

"Bodoh sekali kamu ini, Hanun! Kamu bisa kan simpan ponsel kamu di kantong celana atau kantong baju kerja kamu. Baru jadi kasir aja, kamu udah sok sibuk. Aku tuh lagi bingung dan stres karena kamu gak bisa ditelepon."

"Iya, Mas maaf, ada apa, Mas? Mas mau jemput saya?" aku berharap, suamiku bilang iya, meskipun kemungkinan hanya satu persen.

"Jemput kepala kamu! Ini ada debt kolektor mau narik motor karena udah tiga bulan gak bayar cicilan. Mana aku ada uang. Kamu kasbon lagi ke pemilik resto. Bilang kamu kasbon tiga juta lima ratus."

"Hah? Kasbon lagi? Mana bisa, Mas. Bukannya kemarin saya udah kasih uang kredit motor? Sejak saya kerja, saya yang bayar kreditan motor Mas Biru. Kenapa bisa tiga bulan belum bayar?" tanyaku dengan suara berbisik. Aku tidak mau suara perdebatanku soal uang dengan Mas Biru didengar oleh teman lainnya.

"Ya bisa, Hanun. Namanya motor kredit, pasti ada yang susah bayar kayak kita. Udah gak usah banyak tanya, transfer tiga juta lima ratus ke rekeningku."

"Gak bisa, Mas. Bos Hanun gak mau kasih kasbon lagi." Rasanya aku ingin menangis menghadapi Mas Biru yang selalu saja minta uang ini itu padaku.

"Kenapa gak bisa? Harusnya bisa dong! Udah cepat, tiga juta lima ratus, aku tunggu dalam waktu lima belas menit!"

"Mas udah di rumah?"

"Udah."

"Kalau gitu jemput saya, biar saya bawa cash aja dari sini!"

"Gak bisa, rem motor rusak lagi. Jadinya mau sekalian aku benerin."

"Mas, Mas! Halo!" Panggilan itu sudah ditutup oleh Mas Biru. Bagaimana ini? Aku harus kasbon lagi dan tadi kata Om Leon, aku sudah tidak bisa kasbon.

"Nun, ayo, balik!" Seru Lina dari pintu belakang.

"Ah, iya, biar aku yang kunci pintu deh. Aku masih ingin buang air." Aku memukul perut seakan tengah menahan mulas. Padahal saat ini aku tengah mencari akal bagaimana aku bisa mendapatkan uang tiga juta setengah. Jika tidak dapat, maka aku akan kena omel suamiku sampai pagi.

Tinggal Mang Ujo yang membereskan halaman parkir. Aku memastikan semua teman sudah pulang, lalu aku pun mengendap-endap masuk ke ruangan brangkas. Semoga Mbak Saras tidak menyadari apa yang aku lakukan saat ini.

Tangan ini berkeringat dingin, juga gemetar. Belum lagi detak jantung yang terdengar bunyinya sampai memenuhi ruangan yang kini aku masuki diam-diam. Aku hanya pinjam, begitu nanti gajian, aku bisa mengembalikan uang ini kembali ke brangkas.

Sedikit tergesa aku menekan kode brangkas itu, lalu aku ambil tumpukan uang yang masih ada dalam amplop coklat. Buru-buru aku masukkan ke dalam tas agar aku pun bisa segera pulang.

"Kamu mau mencuri di kantor saya, Hanun?" aku mendelik terkejut. Suara bas Om Leon sudah ada di belakangku.

Bersambung
Cerita ini juga tayang di aplikasi KBM ya. Silakan yang mau mampir ke sana juga boleh.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Maaf, Om, Saya Masih Punya SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang