"Kamu udah sehat? Tapi kayaknya masih pucat," tanyaku pada Hanun. Aku memeriksa keningnya, tetapi ia tepis pelan. Wajahnya terus saja masam dan aku paling tidak suka melihatnya. Namun, aku harus memasang wajah iba, agar Hanum tidak benci padaku. Aku masih butuh Hanun untuk bekerja demi bisa makan.
"Masih kurang sehat, makanya mau langsung istirahat setelah bersih-bersih. Saya gak mau mandi, dingin." Hanun keluar lagi dari kamar sambil membawa handuk. Mood istriku belum sepenuhnya kembali, ditambah Hanun yang masih sakit.
Seprei yang tadi sempat berantakan, aku rapikan kembali. Aneka hadiah aku taruh di atasnya, agar istriku senang saat ia melihatnya nanti. Segelas air putih dan obat yang biasa pun sudah aku siapkan untuk Hanun.
"Wah, udah langsung rapi kamarnya! Siapa yang rapikan, Mas?" tanya Hanun bignung. Ia sudah mengganti baju dengan daster kebesaran yang sudah pudar warnanya.
"Aku dong!" Jawabku bangga. Hanun melirik bungkusan yang aku taruh di atas ranjang.
"Apa ini?" tanyanya.
"Baju buat kamu."
"Kamu habis ngerampok di mana, Mas? Kenapa tiba-tiba banyak uang untuk beli baju? Bukannya selama ini gak pernah? Terus apa motor di depan itu juga motor kamu?" cecarnya tidak percaya. Hanun masih enggan melihat isi bungkusan yang aku bawa.
"Aku ada sedikit rejeki, bukan ngerampok. Mana ada rampok yang wajahnya tampan seperti suami kamu ini! Nih, bukan hanya baju, aku juga belikan ini!" Dengan begitu semangat aku mengambil bungkusan yang isinya ponsel jadul, tetapi sudah android.
"Nih, buat kamu. Baik kan aku?" Hanun menerima ponsel dariku, membolak-balik benda itu tidak percaya.
"Makasih, Mas, tapi kamu dari mana uang untuk beli semua barang-barang ini? Kamu udah kerja?" aku menggelengkan kepala.
"Ada rejeki pokoknya. Aku udah kasih nomor juga di dalam sini, sudah bisa dipake." Langsung saja aku memeluk Hanun dengan erat. Dengan adanya uang di dompet, rasanya gairah ini pun ikut terbakar. Apalagi tubuh Hanun terasa hangat. Meskipun sedikit beraroma minyak angin, tetapi bagiku tidak masalah. Kukecup lehernya dan meninggalkan jejak kehitaman di sana.
"Apaan sih, Mas? Aku masih sakit," katanya sedikit berontak. Aku langsung saja memberikan pil KB yang biasa aku belikan untuknya.
"Minum obatnya dulu!" Hanun menerima pil KB itu dengan wajah masam.
"Memangnya kenapa kalau aku hamil? Ibu nanyain terus loh! Ibu pasti mengira aku yang mandul, padahal anaknya yang suruh aku minum pil KB," katanya masih dengan wajah cemberut.
"Kata siapa? Ibu juga tahu hidup kita lagi susah. Makanya aku bilang sama kamu, Sayang, soal yang kemarin itu. Sedikit genit dengan tamu restoran gak papa. Sesekali dia traktir makan enak gak papa'kan. Temani ngobrol, kamu pasti nanti dapat uang jajan. Makanan enak dan mahal di restoran bisa kamu bawa pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami
Romance(Dewasa 21+) Bos pemilik restoran tempat aku bekerja, terang-terangan menyukaiku. Padahal ia sudah tahu, bahwa aku sudah bersuami. Ya, meskipun bagi suamiku, aku hanyalah mesin ATM-nya, tetapi aku tetap saja masih sah sebagai istri dari Bang Biru...