5. Dirampas

859 31 4
                                    

"Bang, turun di sini saja. Gak usah depan restoran," kataku pada pengemudi ojek online yang aku tumpangi. Pria itu mengangguk, lalu motor pun berhenti di pinggir trotoar. 


"Ongkosnya sudah ya, Bang," kataku memastikan.


"Iya, sudah, Mbak." Aku mengangguk sambil melepas helm hijau itu. Lalu aku berikan pada pengemudi ojek dengan ucapan terima kasih. Ojek pun berlalu. Aku merapikan rambut dengan asal. Wajah ini pun tidak aku poles apapun, selain pelembab dan sunblock.


Aku memanjangkan leher dari balik pilar dekat gerbang masuk restoran. Suamiku sedang duduk di kursi plastik sambil merokok. 


"Mas," panggilku sambil melambaikan tangan. Mas Biru melemparkan rokoknya di tanah, lalu berjalan dengan cepat menghampiriku. 


"Kamu dari mana saja? Melacur ya? Kamu bilang ke rumah Lina, padahal kamu gak di sana," tanyanya sambil mencengkram tanganku dengan sangat kuat.


"Aw! S-sakit, Bang!" Aku berusaha menarik tangan ini, tetapi tidak bisa.


Sebelah tangannya merampas tasku. Lalu ia membuka dengan kasar. Sasarannya adalah dompet dan ponselku. 


"Mas, jangan! Masa HP-ku!" Kataku tidak terima. 


"Siapa suruh kamu bohong? Heh! Jujur kamu kalau tidur sama bos kamu! Sini, pasti kamu dapat uang banyak." Ia membuka dompetku dengan kasar.


"Cuma ini? Kamu yakin tidur sama bos kamu, tapi hanya ada tiga ratus ribu di dompet kamu?!" 


"Aku bukan melacur! Aku bukan tidur dengan bosku! Kamu keterlaluan, Mas! Jangan menyesal kalau sampai aku nanti benar melakukan seperti apa yang selalu kamu tuduhkan! Sini, kembalikan ponselku!" Aku berusaha menarik dua benda penting milikku.


"Mbak Hanun, ada apa ini?" tanya Amir yang tiba-tiba datang menghampiri kami. Pemuda itu terkejut sekaligus terheran melihat suamiku.


"Jangan ikut campur kamu! Pergi sana!" Usir Mas Biru pada Amir. Tentu saja Amir tidak mau pergi dari tempatnya sekarang. 


"Ini di wilayah restoran, Mas. Kalau Mas mau ribut, ke ring tinju sana! Masa ribut sama perempuan di tempat kerja perempuan. Ah, iya, rupanya gak punya kerjaan ya, jadinya ribut di sini! Mas yang harusnya pergi dari sini, sebelum saya panggilkan polisi karena sudah membuat gaduh. Coba Mas lihat ke depan sana! Itu mobil berjejer, motor pun sama untuk menyaksikan suami banci yang sedang mengganggu is_"


Prak!


"Untung saya bisa mengelak!" Amir mengelak saat Mas Biru melayangkan tunjuk ke arah temanku itu. Orang-orang di jalan raya menyoraki Mas Biru, hingga akhirnya suamiku itu pergi dengan membawa ponsel dan dompetku. 


"Makasih, Amir!" Kataku dengan suara tertahan. 


"Sama-sama, Mbak. Maaf nih ya, saya kalau jadi Mbak Hanun, udah gugat cerai aja suami begitu. Gak ada manfaatnya, malah bikin malu dan bisa bikin kita gila! Udah, masuk cepet, dilihatin orang banyak tuh!" Aku pun tersadar dan langsung berlari masuk ke restoran lewat pintu samping. 


Untung restoran masih belum buka dan masih sangat pagi. Hanya ada Lina, Amir, Pak Arman selaku chef, dan juga Ganjar, asisten chef. Untuk karyawan lainnya memang masih setengah jam lagi, barulah berkumpul. 


"Emangnya kamu dari mana semalam? Beneran gak pulang?" tanya Lina menghampiriku yang baru saja mengaktifkan komputer kasir. 


"Maaf ya, Lin, aku pakai nama kamu. Aku menginap di rumah temanku yang lain. Yah, aku gak mau pulang karena masih kesal dengan Mas Biru," jawabku.


"HP sama dompet kamu dibawa Mas Biru ya? Beneran keterlaluan suami kamu itu, udah gak bisa ngasih, malah ngerampok barang istri." Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Aku tidak mau terlalu mengumbar aib suamiku karena aku masih menghormatinya, tetapi aku tidak tahu sampai kapan rasa hormat ini bisa bertahan lama. 


"Dia kesal aku gak pulang. Yah, mau gimana lagi." Aku mengangkat bahu tidak paham. Semakin membahas Mas Biru, maka semakin kesal dan gondok hati ini. 


"Iya sih, sabar deh, Nun. Tangan kamu udah diobati?" aku mengangguk pelan. 


"Sudah aku kasih minyak but-but yang ada di loker belakang. Nanti juga hilang," jawabku sambil tersenyum. 


Aku sangat bersyukur punya lingkungan kerja yang begitu perhatian satu sama lain. Tidak ada rasa iri hati dan dengki, apalagi model manis di depan, menusuk di belakang. Kami semua sama rata, baik dari gaji dan pembagian tugas lembur. Om Leon benar-benar bijak dan pandai mengelola restoran, sehingga tidak heran, ia punya banyak cabang restoran lainnya.


Menjelang jam makan siang, pengunjung restoran mulai ramai. Aku pun juga lebih sibuk dari satu jam yang lalu. Waiters dan chef kerja bakti dengan begitu cekatan untuk meramu, serta melayani pesanan pengunjung yang pasti sudah lapar di jam setengah dua belas siang seperti ini.


"Nyonya besar datang," bisik Amir. 


"Bu Marissa?" tanyaku memastikan.


"Iya, Bu Marissa. Ibunya Om Leon." Aku segera berdiri untuk menyambut datangnya bos besar yang sangat kami hormati. Namun, tidak terlihat sosok Om Leon sejak tadi. 


"Selamat siang, Nyonya!" Sapaku, Amir, serta Lusi secara serentak. Wanita itu hanya tersenyum tipis.


"Hanun yang mana orangnya?" tanya beliau.


"Saya, Nyonya," jawabku gugup. 


"Saya mau bicara sama kamu. Tolong ke ruangan ya."

Bersambung

Maaf, Om, Saya Masih Punya SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang