15. Simpanan Hanun

471 32 3
                                    

POV Biru

"Bu, Hanun udah berangkat?" tanyaku pada ibu yang tengah duduk santai di teras. Ibu menoleh sekilas, lalu kembali lagi menatap lalu-lalang tetangga yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

"Udah dari pagi dia berangkat. Ibu suruh masak, dia gak mau," kata ibuku lagi dengan wajah masam.

"Ibu tuh di sini tamu, malah jadi kayak babu! Kamu ini milih istri gimana sih? Bisa-bisanya modelan Hanun? Kamu mau sarapan ada di atas meja. Ada nasi goreng buatan Hanun, setelah itu kamu ke warung soto, belikan Ibu soto untuk makan siang. Ini udah mau siang," kata ibuku mengoceh tiada henti. Aku tanya satu kalimat, ia jawab satu bab novel. Begitulah orang tua bila sedang kesal.

"Soalnya tadi katanya sakit, Bu, makanya saya kirain gak kerja. Berarti udah sehat. Mama Sasa? Tumben Ibu duduk sendiri?" tanyaku. 

"Sasa lagi bikin surat lamaran di dalam. Dia kerjakan pake HP. Ke sini niat mau kerja, malah susah dapat kerjaan. Kamu bilangin Hanun, biar Sasa kerja di restoran Hanun." Aku hanya bisa menghela napas mendengar permintaan ibuku. Tidak mungkin Sasa kerja di restoran, Sasa saja tidak bisa kena air sabun? 

"Jadi kasir aja, buat temen Hanun," kata ibuku lagi. 

"Gak segampang itu juga jadi kasir, Bu. Harus yang sudah biasa. Lagian, mau ditempatkan di kasir atau pelayan pengantar atau bagian cuci piring, itu adalah keputusan pihak restoran, bukan kita yang nentuin," jawabku dengan suara pelan, mencoba menjelaskan. 

"Hanun'kan pegawai lama, masa gak bisa kasih pekerjaan yang gak berhubungan dengan air sabun? Kalian ini suami istri sama saja, gak ada yang mau bantu Sasa! Udah sana masuk, kamu sarapan dulu!" Aku pun memilih masuk, dari pada kena ceramah lagi. 

Nasi goreng sudah dingin dan juga sedikit keras, tetapi karena perut ini lapar, mau tidak mau, aku santap juga. Hanya ini yang ada untuk mengisi lambung yang kosong. 

Kring! Kring!

Aku berjalan ke kamar saat mendengar ponselku berdering.

"Halo."

"Halo, dengan Bapak Biru. Kamu dari aplikasi pinjaman online ingin mengingatkan bahwa tunggakan pinjaman Anda sudah terlambat dan mencapai angka dua juta delapan ratus. Kapan mau diselesaikan, Pak?"

"Nanti kalau saya ada duit!" Aku segera menutup panggilan itu dengan kesal. Aku tekan tombol off agar tidak ada telepon tagihan lainnya. Jika saja aku masih bekerja, sudah pasti aku tidak perlu memiliki utang online. Biaya ibu dan Sasa ke Jakarta. Belum lagi jajan, pulsa, dan makan keduanya selama di sini, aku tidak punya uang jika tidak mengajukan pinjaman online.

Aku membuka lemari untuk mencari sesuatu dan aku sangat yakin barang itu masih disimpan Hanun. Ya, aku mencari cincin bermata biru milik ibu yayasan tempat Hanun tinggal dulu. Cincin itu katanya bukan emas, tetapi aku mau memastikan saja di toko emas.

"Mau ke mana?" tanya ibuku saat melihatku sudah rapi. 

"Ada urusan bentar, Bu."

"Naik apa? Motor kamu udah gak ada?" 

"Naik angkot aja. Biru jalan dulu. Makan siang tungguin Biru balik aja." Aku pun bergegas keluar gang. Tujuanku saat ini adalah toko emas. Aku sangat berharap cincin milik Hanun, berharga, sehingga aku bisa punya uang lagi. Paling tidak untuk modal ongkos cari pekerjaan dan juga buat makan.

Sesampainya di mall, aku pun langsung menuju toko emas. Aku tanyakan berapa harga batu yang melekat pada cincin.

"Di mana Bapak dapat batu ini?" tanya pria berkepala plontos dan sedikit tua. Bisa jadi pria ini adalah pemilik toko emas.

Maaf, Om, Saya Masih Punya SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang