"Bangun terlalu siang, rejeki kamu nanti bisa dipatuk ayam!" Sindir ibu mertuaku saat aku baru saja keluar dari kamar. Tubuh ini mendadak demam dan kepalaku juga sangat berat, tetapi perut juga lapar. Aku tidak menyahut ucapan mertua. Aku lebih memilih langsung berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Pukul enam pagi baru aku ada tenaga untuk keluar kamar.
Ya, Tuhan, dapurku masih seperti semalam. Sangat berantakan dan tidak ada yang membereskan. Piring kotor di mana-mana dan sedikit berminyak. Belum lagi aroma dari tong sampah kecil yang ada di dapur.
"Bu, Sasa ke mana ya?" tanyaku dengan suara pelan.
"Saya tidur, kenapa?"
"Bu, ini dapur belum dibereskan sejak kemarin," jawabku.
"Itu tugas kamu, Hanun. Kenapa malah tanya Sasa? Saya alergi air sabun. Apa Biru gak cerita? Kamu saja yang bereskan semuanya. Setelah itu bikin nasi goreng. Ibu tadi udah masak nasinya, tinggal kamu goreng tuh! Harusnya bersyukur banget kamu dekat dengan mertua. Apalagi mertuanya seperti saya yang mau masakin nasi. Mertua lain belum tentu! Masak nasi goreng, setelah itu ke warung, belikan telur dan buatkan balado telur dan tumis kangkung untuk makan siang!" Baru saja beliau memuji diri sendiri, kini sudah bergaya nyonya lagi. Kepalaku pun rasanya akan pecah jika terus berdiri di dekat ibu mertua.
"Saya gak enak badan, Bu. Ini mau minum obat."
"Minum obat kalau udah makan. Masak dulu sana, bikin nasi goreng, baru kamu sarapan! Ampun, punya menantu bantah terus kerjaannya!" Aku memilih tidak menggubris perintah ibu mertua. Aku mengambil air putih hangat, lalu aku bawa ke kamar.
"Mas Biru, bangun, Mas!" Aku mengguncang tubuh suamiku. Bukannya bangun, suara dengkurannya malah semakin keras saja.
"Mas, bangun, tolong belikan aku tolak angin. Masuk angin ini kayaknya!" suamiku membuka mata, lalu menoleh ke arahku.
"Apa?" tanyanya lagi.
"Aku kayak demam, Mas. Tolong belikan obat di warung sama roti. Aku mau keluar rumah dingin banget," kataku setengah menggigil.
"Setelah minum obat, aku baru ada tenaga buat bikin nasi goreng yang diminta ibu," kataku lagi. Berharap jika menjual nama ibunya, suamiku mau menolongku.
"Suruh saja Sasa. Kamu gak lihat suami lagi tidur? Enak aja suruh-suruh! Kamu semalam aku suruh akting naksir pria kaya aja, gak mau sampai melotot sama suami sendiri. Sekarang, urus juga diri kamu sendiri!" Ia kembali berbalik sambil memeluk guling.
"Aku minta tolong karena aku sakit dan gak bisa. Kamu keterlaluan!" Aku keluar dari rumah dengan memakai jaket. Tangan dan kaki gemetar karena merasa sangat dingin.
"Bu, beli roti satu. Tolak angin satu, dan Paracetamol juga satu tablet saja," kataku pada Bu Asih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami
Romance(Dewasa 21+) Bos pemilik restoran tempat aku bekerja, terang-terangan menyukaiku. Padahal ia sudah tahu, bahwa aku sudah bersuami. Ya, meskipun bagi suamiku, aku hanyalah mesin ATM-nya, tetapi aku tetap saja masih sah sebagai istri dari Bang Biru...