4. Kabar dari Lina

1K 31 0
                                    

"S-saya dalam perjalanan ke rumah Lina, Mas. Saya t-takut pulang, jadinya_"


"Jangan bohong kamu, Hanun! Katakan kamu di mana?" aku menatap pada Om Leon karena bingung harus bagaimana. Ia mengetik sesuatu pada ponselnya, lalu aku diminta untuk membacakannya.


"Saya sudah keburu kesal dengan Mas Biru. Jadinya malam ini saya gak mau pulang dulu! Siapa suruh tadi mengabaikan saya. Saya mau menginap di rumah teman saja." Aku langsung menutup panggilan itu dan langsung mematikan ponsel. Om Leon tersenyum sambil mengangkat jempolnya. 


"Ayo, tidur, saya capek banget!" Katanya sembari bangun dari kursi, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Aku masih mematung, apakah benar-benar aku harus tidur dengannya? 


"Hanun, kamu mau ngapain diam di sana? Ayo, masuk dan tidur!" Katanya lagi sambil mengangkat tangan. Kedua kaki ini pun melangkah bagaikan robot. 


Cklek!


Pintu sudah tertutup kembali dan saat ini aku memuji keberanian yang di luar akal sehatku. 


"Kamu tidur di ranjang, biar aku yang di sofa," katanya lagi sambil berjalan ke arah sofa. Aku tergugu mencoba mencerna ucapannya. 


"Om, t-tapi kenapa saya harus tidur di ranjang? Itu bukannya ranjang Om Leon. Ya ampun, saya gak mau, Om." Aku menggelengkan kepala dengan tegas. Siapa aku, nekat tidur di ranjang bos pemilik restoran?


"Oh, jadi kamu udah siap tidur dengan saya? Ha ha ha ...." Balasnya dengan suara tawa menggelegar. Aku tentu saja menggelengkan kepala sekali lagi. 


"Kamu pasti capek seharian kerja di balik meja kasir. Kamu boleh tidur di sana malam ini. Biar saya tidur di sofa. Sekarang belum saatnya kita bobok bareng di ranjang empuk milik saya." Aku merinding begitu kata bobok bareng meluncur di bibirnya. Aku pun bergegas naik ke atas ranjang yang baru kali ini aku rasakan. Empuk dan sangat nyaman. Sepreinya juga sangat dingin dan adem. Tidak seperti seprei di rumahku yang kasar.


Lampu kamar dimatikan oleh Om Leon. Aku pun memaksakan diri untuk memejamkan mata. Aku berharap ini bukan mimpi, karena aku tidak ingin bangun dari ranjang super empuk ini.


Suara jam weker membangunkanku dari tidur paling nyenyak yang pernah aku rasakan. Aku melihat ke sekeliling kamar dan tidak mendapati Om Leon di sofa. Tiba-tiba dari arah kanan, suara pintu dibuka. Aku menoleh dan melihat Om Leon keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk saja. 


Aku menelan ludah karena pemandangan luar biasa dari mahkluk Tuhan paling dingin begitu segar dengan rambut basahnya.


"Hai, kamu sudah bangun. Kamu bisa mandi di sana. Jangan sungkan. Setelah kamu mandi, kamu berpakaian lagi. Seragam kerja sudah aku keringkan di mesin pengering. Ada setrika gantung juga di samping lemari, kalau kamu mau menyetrikanya. Kita berangkat ke restoran satu jam setengah lagi."


"Om, maaf, a-apa saya tidak dipecat?" tanyaku ragu. Pria yang tengah membuka lemari pakaiannya itu langsung tersenyum.


"Jika saya pecat kamu, maka saya gak bisa lihat kamu. Saya cukup mengganti pin brangkas saja bukan? Sama satu lagi, jika kamu berani menyalah gunakan kepercayaan saya sekali lagi, maka bukan hanya kamu, tapi suami jadi-jadian kamu pun harus menanggung akibatnya. Saya gak main-main karena ini menyangkut perusahaan saya. Restoran saya bukan hanya satu."  


"Baik, Om, terima kasih banyak atas kesempatannya. S-saya kirain saya dipecat." Akhirnya aku bisa bernapas lega, sembari mengurut dada ini.


"Kamu pernah bilang, bahwa kamu menikah di usia tujuh belas tahun. Sekarang umur kamu dua puluh tahun, tapi suami kamu tidak kelihatan  family man. Urakan dan galak kalau menurut saya. Bagaimana bisa kamu memutuskan untuk menikah dengan pria galak seperti Biru? Apa kamu tidak ingin bercerai saja darinya? Kalian hanya menikah siri'kan?" 


"Saya rasa, Om gak boleh ikut campur masalah ini. Maaf, Om. Bagaimanapun Mas Biru masih suami saya," kataku berusaha mempertahankan nama baik suamiku meskipun mungkin sebuah kebodohan. Mungkin aku dianggap lancang, tetapi sudah terlanjur. 


Om Leon bukannya marah atau tersinggung padaku, tetapi ia tertawa. 


"Mari kita lihat sejauh mana kamu bisa terus menggunakan gelar suami pada Biru!"


Kring! Kring!


Aku melihat ada nama Lina yang menelepon.


"Halo, kenapa, Lin?"


"Hanun, Lo di mana sih? Ini laki Lo ada di depan restoran. Emangnya Lo gak pulang?"


"Hah, Mas Biru ada di restoran?"


"Iya, dia nyariin Lo."


"Aku dalam perjalanan ke restoran. Suruh tunggu aja. Makasih ya, Lin, udah diberitahu." Aku mematikan ponsel dan langsung berlari keluar dari kamar Om Leon. 


"Om, baju saya ada di mana?" tanyaku. 


"Ada saya gantung di ruang setrika. Di depan sana. Saya pesankan ojek online biar kamu lebih dulu sampai." 


"Makasih, Om." Aku mengangguk cepat. Lalu bergegas mengganti baju seragam tanpa riasan wajah. Aku harus gerak cepat agar Mas Biru tidak menunggu lama. 


"Ojek online sudah di bawah. Ongkosnya udah saya bayar," kata Om Leon saat aku tengah mengisi botol air minum yang selalu aku bawa. 


"Makasih banyak, Om. Saya permisi." Aku pun bergegas turun sampai di lobi menggunakan lift. Jantung ini berdetak tidak karuan karena tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di restoran nanti. Semoga saja Mas Biru tidak membuatku malu atau malah membuat keributan.

Bersambung

Maaf, Om, Saya Masih Punya SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang