6. Tawaran Pekerjaan

653 25 1
                                    

Aku mengetuk pintu ruangan Om Leon yang saat ini diisi oleh Bu Marissa. Jika hari ini adalah hari terakhirku bekerja karena masalah kemarin, maka aku pun harus ikhlas. Memang salahku, bukan suamiku. Ia hanya minta uang dan bodohnya aku, kenapa bilang tidak ada. Malah mau mencuri di tempat kerja. 


Om Leon pasti bercerita pada ibunya tentang kesalahanku, sehingga saat ini Bu Marissa memanggilku. Kuatur napas dan merapikan sedikit rambut ini dengan buku jari tangan. Aku siap salah dan menerima konsekuensi dari apa yang sudah aku lakukan.


Tok! Tok!


"Permisi, Bu."


"Masuk!" Suara elegan Bu Marissa membuat bulu tangan ini meremang. Aku menelan kenop pintu perlahan, lalu melangkah masuk dengan hati-hati. 


"Permisi, Bu, saya Hanun, apa Ibu ada perlu dengan saya?" tanyaku amat sopan. Suara yang aku keluarkan juga sangat hati-hati. Wanita itu mengalihkan pandangan dari menatap laptop, kini melihat ke arahku. Matanya naik turun memperhatikanku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semakin berdebar saja jantung ini dibuatnya.


"Leon bilang sama saya kalau dia butuh asisten rumah tangga di rumahnya. Dia gak mau kalau saya carikan lewat yayasan. Dia maunya orang restoran karena dia berharap selain mengurus rumah, juga bisa masak. Dia tunjuk satu nama dan itu Hanun. Kamu Hanun'kan?" aku bernapas lega setelah mendengar apa yang ingin Bu Marissa sampaikan. Aku sudah mengira, Bu Marissa mempertanyakan perihal kenekatanku mencuri brangkas restoran. Ternyata bukan.


"Apa kamu bisa?" tanya Bu Marissa membuyarkan lamunanku.


"Saya bisa, Bu, tapi saya gak terlalu rapi kalau beres-beres rumah, apalagi yang alat elektronik rumah sudah canggih. Saya paling beres-beres seperti biasanya saja, Bu," jawabku masih dengan kepala menunduk.


"Iya bisa dipelajari nanti. Sekarang cuma kamu mau atau tidak. Kalau mau, mulai besok kamu sudah bisa mulai kerja di sana. Gak usah mikirin kasir di sini nanti siapa, karena sudah saya yang urus semua." 


"Baik, Bu, saya bersedia." Pasti ini adalah tindakan yang diambil oleh Om Leon demi menyelamatkanku dari khilaf. Pria dewasa itu terlalu baik, tetapi juga terlalu posesif. Apakah tidak mengapa jika aku bekerja di rumahnya?  Apakah seharusnya aku tanya Mas Biru dulu? 


"Oke, nanti saya sampaikan pada Leon. Putra saya sedang keluar kota untuk mengurus pernikahannya yang akan berlangsung dua Minggu lagi. Jika nanti Leon sudah menikah, mungkin kamu bisa kembali ke restoran. Jadi sifatnya sementara saja. Paham maksud saya?" 


"Oh, b-baik, Bu. Saya paham. Jika untuk sementara saya gak masalah. Saya siap membantu," jawabku penuh semangat. Aku bersyukur akhirnya Om Leon akan menikah, maka ia pun pasti akan berhenti mengangguku. Rasanya sungguh tidak nyaman berada di dekat pria dewasa yang terobsesi padamu. Benar dugaanku bahwa Om Leon hanya menggodaku saja dengan mengatakan bahwa ia menyukaiku dan ingin jadi pacarku. Dasar lelaki!


"Hanun, kamu boleh keluar. Kenapa masih bengong di situ?" teguran Bu Marissa membuatku sangat malu. 


"Eh, i-iya, Bu, maafin saya. Saya permisi." Aku bergegas keluar dari ruangan itu. Satu masalah teratasi yaitu masalah Om Leon. Kini tinggal masalahku dengan Mas Biru yang tidak tahu nanti aku harus bagaimana.


"Jadi ponsel kamu gak ada?" tanya Lina saat aku sedang menghitung pemasukan hari ini. Aku mengangguk. 


"Jaman sekarang gak ada HP itu ribet, Hanun. Suami kamu ada-ada saja! Terus, malam ini kamu pulang ke rumah suami kamu?" 


"Iya, mau ke mana lagi?" jawabku tidak semangat. 


"Kamu gak takut kena omel atau kena pukul suami kamu? Kenapa gak lapor polisi aja, sih, Hanun? Aku takut kamu kenapa-napa jika pulang ke rumah. Ayo, kalau kamu lapor, aku pasti bersedia jadi saksinya. Teman-teman di sini pun sama. Gimana?"


Bersambung

Baca juga novel saya yang berjudul "Bagaimana Rasanya jadi Maduku? " tayang di aplikasi KBM

Maaf, Om, Saya Masih Punya SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang