13. Diminta jadi Wanita Penggoda

536 29 8
                                    

Plak!

"Hanun, siapa kamu mau bakar celana dalam Sasa? Emangnya kamu yang belikan itu celana?! Pulang kerja malah ngelunjak. Masuk sana dan kerjakan apa yang saya suruh! Kurang ajar sekali!" Pekik ibu mertuaku dengan mata berapi-api. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menggertakkan gigi. Aku berbalik dan langsung masuk ke kamar mandi. Celana dalam berdarah tadi aku taruh begitu saja di gantungan kamar mandi. Aku memilih mandi dengan cepat dan tidak mau melakukan apa yang diminta mertuaku.

Siapa Sasa yang berani dan lancang sekali memintaku mencuci celana dalamnya? Sudah bagus aku biarkan di sini karena aku masih hormat pada ibu mertua, tetapi gadis desa gak tahu diri itu malah ngelunjak.

Suara pintu terdengar dibuka. Aku yang sudah amat sangat mengantuk, akhirnya bangun dan menoleh ke arah pintu. Mas Biru pulang dengan wajah lusuh. Aroma tak sedap langsung ditangkap indera penciumanku. Aroma asap dan matahari yang menempel di baju. 

"Mas, udah pulang," sapaku dengan suara serak. Ia hanya diam saja. Menaruh ponselnya di nakas, lalu keluar lagi dari kamar. Aku mengerutkan kening dan langsung turun dari ranjang. Aku ke dapur untuk membuatkan teh. Sudah biasa memang seperti ini jika ia pulang dalam keadaan kacau, pasti tidak mau buka suara. 

"Astaghfirullah," gumamku saat melihat dapur sangat berantakan. Di bawah telapak kakiku ada robekan plastik bumbu mi rebus yang berminyak. 

Ada perabotan seperti bekas makan mi rebus. Kue yang aku bawa pun tidak ada yang tersisa, padahal aku sengaja memisahkan untuk Mas Biru di piring lainnya. Semua kekacauan di rumahku membuat kepala ini kembali nyeri. Namun, jika aku berbaik hati merapikannya, maka besok akan terulang lagi. Aku capek. Lebih baik aku beres-beresnya di rumah Om Leon yang jelas memberikan aku uang.

Biar sajalah, biar Sasa yang membereskannya. Batinku.

"Darah siapa di kamar mandi?" tanya Mas Biru dengan suara tidak senang, begitu ia keluar dari kamar mandi. 

"Sasa datang bulan. Aku diminta ibu untuk cuciin. Ya, aku gak mau! Enak aja aku yang cuci!" Suara ini aku keraskan, biar ibu mertua dan keponakan  kesayangannya itu dengar. Meskipun sudah jam sebelas tiga puluh malam, aku yakin mereka berdua belum tidur. 

"Kamu ini, selalu mancing keributan. Bisa gak, gak bikin masalah kalau aku lagi gak di rumah? Cuci saja emangnya susah? Kanalu jijik pakai tangan, cuci aja pakai kaki. Diinjek-injek gitu," katanya memberikan saran yang sangat membuatku kesal.

"Aku ditampar ibu, Mas." Aku memperlihatkan pipi yang lebam pada suamiku. Aku menarik tangannya masuk ke dalam kamar kami. Lalu pintu aku tutup dan kukunci. Mas Biru memperhatikan pipiku, lalu menyentuhnya perlahan.

"Kenapa? Apa karena masalah celana Sasa tadi?" tanyanya dengan sedikit iba. Aku mengangguk. 

"Ibu ringan tangan. Padahal aku menantunya. Makan juga aku yang kasih, tapi tega sekali main tangan," gumamku sedih. 

"Udah kamu obatin?" tanyanya lagi. Ia mengabaikan omelanku tentang ibunya. 

"Iya, karena aku bilang aku mau bakar celana dalam Sasa kalau gadis itu gak mau nyuciin celana dalamnya. Mas, aku tuh setiap hari udah nyuci baju ibu, Sasa, dan kamu. Pakaian dalam Sasa juga aku cucikan, Mas. Itu aja aku rasanya gak ikhlas karena Sasa itu bukan anak kecil. Sasa udah dua puluh satu tahun dan harusnya dia bisa nyuci pakaian dalamnya sendiri! Aku capek kerja, pulang ke rumah malah makin capek!" Mas Biru kudengar menghela napas, lalu ia berjalan ke arah lemari pakaian untuk memakai baju. 

Tumben sekali ia tidak berapi-api menceramahiku, apa karena dia mulai sadar atau ada hal lain yang ia rencanakan untukku?

"Sabar ajalah, Hanun. Kamu pahalanya besar kalau nolong Sasa. Sabar sama ibu juga pahala besar untuk kamu. Sasa itu emang dia gak bisa nyuci karena tangannya alergi sabun. Makanya dia mandi pakai sabun bayi." Aku tercengang. Emang ada orang kampung alergi sabun?

"Serius, Mas? Anak kampung alergi sabun? Bukannya anak kampung itu tahan terhadap apa saja?" Mas Biru tertawa. Ia menarik tubuh ini untuk duduk di pangkuannya.

"Iya, untung istriku tidak begitu. Istriku wonder woman yang bisa kerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Bisa kerja di restoran juga dan bisa ngurus mertua galak juga. Makasih ya." Pujian yang sebenarnya lebih kepada sindiran. Aku melakukannya karena tidak punya pilihan lain.

"Kita udah lama gak bercinta. Ayo, Mas lagi pingin." Mas Biru sudah membuka baju dasterku. Aku sebenarnya malas, tetapi ingin menolak, tetapi aku juga sudah lama tidak disentuh suamiku, sehingga akhirnya aku tunduk. 

Setiap belaian yang dulu sangat memabukkanku, malam ini terasa hambar. Aku mendesah palsu demi suami agar bisa mendapatkan keinginannya dengan cepat. Setengah jam berlalu danas Biru mendapatkan apa yang ia inginkan, sedangkan aku tidak. Aku sudah cukup lelah tenaga dan juga batin, sehingga tidak lagi bisa menikmati. 

"Payudara kamu kayaknya semakin padat. Kamu gak lagi hamil'kan? Tahan dulu ya. Ekonomi kita lagi morat-marit, kalau kamu hamil, malah nanti nambah beban kamu. Kamu jadi gak bisa kerja karena hamil dan mabok ngidam. Kita bisa punya anak kalau aku sudah mapan, Hanun."

"Kapan mapannya? Utangnya keliling pinggang," sindirku sembari memakai kembali baju.

He he he

Mas Biru tertawa lebar. 

"Aku juga utang buat kita kan?" balasnya tidak mau disalahkan.

"Kapan? Udahlah, kalau bahas itu bikin aku tambah pusing." 

"Hanun, tunggu!" Tangan ini ia tarik perlahan agar aku duduk kembali di pinggir ranjang. 

"Apa, mau teh?" tanyaku dengan wajah malas. 

"Nun, ini sih cuma saran ya. Kalau kamu cocok, aku rasa ini salah satunya cara agar kita terlepas dari jerat utang dan kesulitan ekonomi ini," katanya setengah berbisik. Aku mengerutkan kening. Kali ini apalagi idenya?

"Apa dulu? Kalau suruh jaga lilin, aku gak mau!" Tolakku tegas. Mas Biru kembali tertawa.

"Dih, pinter banget istriku! Tapi kurang tepat, yang jaga lilin itu, aku, kamu yang keliling, Sayang. Dengar, kamu banyak pelanggan restoran yang kelihatannya kaya kan? Nah, kamu bisa pura-pura dekatin mereka dan naksir mereka. Gak papa, aku akan ikhlas, asalkan kamu bisa dapatkan uang dari para pria kaya itu, gimana?" kali ini aku yang tertawa.

"Kamu udah gak bisa kasih uang, malah kamu mau jual istriku kamu?! Kamu mau jadikan aku mesin uang untuk kamu dan ibu kamu, Mas? Mas, aku ini istri kamu yang kamu nikahi dengan menyebut nama Tuhan, apa kamu gak takut dosa? Aku gak mau! Aku gak mau jual diri demi tuntutan suami!"

Bersambung

Maaf, Om, Saya Masih Punya SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang