BAB 11 - Kenapa?

28 4 0
                                    

Happy reading readers!









     Mata cowok itu bergerak liar kemana mana bak seekor tikus yang berusaha lepas dari perangkap. Ujung ujung mulutnya terlihat memar karena pentutup mulut yang dipasang secara paksa itu sangat erat. Ah, ia hanya berfikir untuk bisa lolos dari mimpi buruk ini. Hentakan kencang dari tangannya semakin kencang.

   Tidak. Tidak ia harus lolos. Harus! Ia tidak mau lagi bertemu dengan iblis. Ia masih belum siap. Sudah tiga hari ia harus merasakan kejinya sang iblis.

   Pintu yang terbuat dari besi itu pun terbuka. Suara derit pintu yang bergesek membuatnya semakin was was. Keringat dingin kembali mengucur membasahi tubuhnya. Dan, inilah saatnya. Penutup mulutnya dibuka secara paksa dengan kasar.

     "Jadi jawaban Lo?"

     Cowok yang sedang dirantai itu pun hanya bisa menyeringai tipis, "Gue gak pernah menyesal dengan perbuatan Gue..."

  Cowok yang berkaos hitam itu diam sejenak, menyerap kalimat yang diucapkan lawan bicarana untuk diingat.

     "Ahhh...keras kepala..." gumamnya.

   Tanpa banyak bicara, mengambil sebuah benda yang bentuknya seperti tang. Sedangkan tangan cowok yang sedang dirantai tangannya kebelakang itu di tarik dengan perlahan. Tangannya yang mulai semakin tertarik dengan perlahan malah membuatnya semakin mengucurkan keringatnya lebih deras.

   Tak!

   Jeritan kesakitan seseorang yang ada didepannya itu seolah olah menjadi instrumen yang sangat menyenangkan.

   Tak!

   Tak!

   Tangan cowok itu gemetaran merasakan rasa sakit yang luar biasa. Punggungnya seketika menjadi ringkuk dikala ia kembali merasakan rasa sakit yang sama. Jeritan kesakitannya terus memenuhi ruangan suram itu. Tidak ada siapa siapa, kecuali mereka berdua.

   Tak!

   Tak!

   Tak!

   Lagi lagi cowok itu itu kembali mencoba untuk menahan rasa sakit yang ia terima, namun tetap saja, tangannya terus gemetaran merasakan perih luar biasa di ujung ujung jarinya. Ia menatap kebelakang setengah enggan karena takut, enam dari sepuluh kuku jari tangannya sudah tergeletak di lantai yang masih berpoleskan semen.

   Kulit keenam ujung jarinya sudah koyak tepatnya dimana kuku berada, mengeluarkan cairan merah yang bahkan dapat ia rasakan cairan itu menetes melewati dagingnya.

     "Seharusnya cukup jawab 'Ya' atau 'Tidak'. Tapi ternyata Lo banyak omong ya"

   Tak!

     "Setiap kuku yang hilang adalah setiap kata yang Lo keluarkan"

   Napasnya terengah engah menahan rasa sakit yang ia rasakan. Belum kering luka yang menganga lebar di punggungnya, kini bertambah lagi penderitaannya. Tapi tetap saja, ia sama sekali tidak pernah menyesal dengan semua perbuatannya. Justru ia merasa bahagia karena sudah membuat dia sebagai miliknya. Ah, rasanya ingin cepat cepat selesai agar bisa menghirup aromanya kembali.

     "Seharusnya paham situasi. Teriak lebih keras..." ujarnya sambil menekan dengan salah satu ujung jari cowok itu. Lukanya semakin parah.

     "Lo memperlakukan dia seperti menyiksa seekor anak kucing yang tidak berdaya"

Please, Don't Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang