❝Rasa sakit paling buruk adalah ketika seseorang yang membuatmu istimewa kemarin, lalu membuatmu paling bersalah hari ini.❞ — Shea Annora
***
Shea anggap yang terjadi kemarin malam hanya mimpi buruk. Penganiayaan, sepatu yang dirusak, dan ketakutannya semalam hanyalah bunga tidur yang lebih baik ditelan paksa saja sendiri. Sebab jika terus digulung diingatan, itu akan menggangu proses belajar serta aktivitasnya yang lain. Jadi Shea menggunakan opsi lain saja, pura-pura lupa, seperti tidak terjadi apapun.
Sepatu barunya telah rusak, mau tidak mau ia memakai flatshoes yang ada saja. Semoga esok hari Xabiru masih berbaik hati memberikan Shea kerjaan tambahan lagi, supaya ia bisa membeli sepatu baru—menggantikan barangnya yang dikoyak paksa kemarin.
Jika biasanya Shea sering memakai lift saat hendak menuju lantai atas, maka kali ini tidak. Gadis itu mencari jalan pintas lain. Tidak mau menjadi pusat perhatian dari luka babak belur yang bersarang di wajah, Shea memilih menaiki tangga manual saja. Di sana pasti lenggang, tidak banyak murid yang bersedia menaiki tangga sejauh itu. Jadi Shea rasa, itu aman untuk mengindari keramaian.
Baru Shea merasa lega karena memastikan tangga ini sepi, kehadiran seseorang yang menghadang jalannya di pertengahan jalan membuat Shea mendongak. Gadis itu mematung kala presensi Zayyan Arlen berdiri tepat di hadapannya. Shea tidak buta saat Zayyan menatapnya tidak biasa, namun gadis itu mencoba abai.
Shea tetap melanjutkan langkah, akan tetapi posisi Zayyan yang tidak mau menyingkir membuat Shea bingung harus mengambil langkah yang mana. "Kenapa?"
"Lo tuh... berlagak bego apa gimana, Shea?"
Rahang Shea seolah jatuh ke bawah. "Hah?" Dia tidak kaget sebetulnya dengan ini, sudah bisa memprediksi, hanya saja ini terlalu pagi untuk memulai keributan. "Apaan banget lo tiba-tiba maki. Lo mau bahas soal kemarin, Zayn?"
"Ya, harus," jawab Zayyan lagi. "Lagian lo dikasih tau sekali, malah makin keliatan nggak sadar dirinya. Padahal otak pinter lo itu, nggak mungkin nggak paham sama permintaan gue waktu itu. Apa susahnya sih ngasih batesan sama keluarga gue, Shey?"
Shea masih memandang kesal pada Zayyan, saat lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya. "Kasih Alea ruang, Shey. Biar bisa deket sama adek-adek gue. Biar mereka ada cela buat saling akrab. Gue juga nggak tega kalau mereka terus mihak lo, sementara Alea kayak nggak keliatan. Contohnya kayak Niskala ke lo pas kemarin."
"Maksudnya gue harus ngasih ruang?" tanya Shea. "Emang gue ngehalangin Alea?"
"Kan emang iya. Lo nggak sadar?"
"Gue nggak pernah ngehalangin ruang buat Alea deket sama adek-adek lo!" tukas gadis itu.
Shea tidak melakukan apa-apa. Berinteraksi dengan Niskala sewajarnya, berteman dengan Kanara juga murni-murni saja. Tidak pernah Shea menghasut atau menyuruh para saudari Zayyan untuk memihaknya. Gadis itu justru baru sadar saat Zayyan berbicara tadi. Shea hanya bersosialisasi layaknya orang normal. Sebetulnya, siapa yang salah di masalah ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA : Last Flower
Teen FictionMadava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dikenal sebagai kutukan setan. Ia habis disumpah serapahi, bahkan hingga akhir kematiannya. Awalnya semu...