BAB 39 : Clown

49.9K 5.3K 4.2K
                                    

Ramein bang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ramein bang. Udah rajin gini, masa tak ada feedback 👍🏻💙

****

Seorang lelaki berseragam SMA baru saja keluar dari warnet. Angga membenarkan kacamatanya ketika rasa kantuk masih belum selesai menyergap, dan dia ingat harus pulang ke rumah. Bisa-bisanya ketiduran di warnet usai mengerjakan makalah, dan lanjut bermain game online hingga mengantuk. Sekarang pukul setengah dua belas malam, dan kondisi jalan setapak yang ia telusuri sangatlah sepi.

Jarang memiliki teman di sekolah, membuat Angga lebih senang menghabiskan waktunya dengan layar komputer. Hari-harinya di sekolah memang tidak menyenangkan, apalagi jika disuruh mengerjakan tugas oleh geng yang isinya para siswa bengal. Untungnya ada Xabiru yang selalu rela memantaunya makan di kantin, agar tidak diganggu lagi oleh perundung.

Angga bersenandung pelan dengan sebelah earphones yang terpasang di telinga—upaya mengusir rasa sepi. Sampai derap langkah lelaki itu melambat kalau mendapati sesuatu yang mengusik pandangannya. Angga tercenung saat melihat seseorang—berpakaian seperti kostum badut, berdiri di bahu jalan seraya menggerakan badannya ke kanan dan ke kiri.

Badut itu terlihat sedang menari. Bukan jenis tarian yang heboh, hanya menggerakan badan secara tenang tetapi mencerminkan kesenangan. Angga sampai celingak-celinguk. Jalanan ini bahkan tidak ada orang, tidak suara atau musik yang mengharuskannya seperti itu. Mungkin saja badutnya memakai earphones juga seperti Angga, jadi musiknya terdengar oleh seorang diri?

Berusaha bersikap abai, Angga lanjut berjalan. Mungkin itu badut yang selesai mencari nafkah dan sekarang sedang menikmati lelahnya. Meskipun jika dilihat lebih teliti, kostum badut itu sangat lusuh dan kotor—tidak bersih seperti yang biasa Angga lihat di alun-alun.

Angga terus mengayunkan kaki, hingga lelaki itu tersentak ketika ada langkah kaki lain yang mengikutinya dari samping. Jujur Angga terkejut saat menoleh, sudah ada badut itu yang berdiri di belakangnya. Wajahnya tidak dihiasi cat warna, melainkan memakai topeng putih dengan gambaran seringaian panjang hingga telinga. Bola matanya melebar, ada tetesan merah di bagian bawah matanya—seperti gambaran air mata yang menyedihkan.

"Apa?" tanya Angga aneh.

"Kamu mau balon?" tawar badut itu.

Angga berkedip lurus. Suaranya... disamarkan. Terdengar kecil, nyaring dan melengking. Persis seperti seorang dubber yang sudah sering melakukan dubbing kartun di televisi. Angga sampai tidak memprediksi ini perempuan atau lelaki, sebab kostum badutnya berukuran besar.

"Makasih, enggak usah." Angga menolak halus. "Duluan, ya."

Lelaki itu segera berjalan pergi. Namun, lagi-lagi langkahnya ditahan saat badut itu tiba-tiba memposisikan tubuhnya di depan Angga. Dia bertanya ulang. "Mau balon?"

Angga terpekur, seketika bulu kuduknya merinding hebat kala menyadari jika situasi ini banyak kejanggalan. Badut itu memakai topeng, tetapi sorot matanya bisa menembus tulang belulang Angga tanpa aba-aba. Sekali lagi, Angga menolak. "Maaf, saya nggak mau. Permisi."

ENIGMA : Last FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang