Udara Pagi

45 10 2
                                    

Sekali ditolak, Fenola tidak akan menerima kesempatan kedua. Baginya, kedua itu adalah memberikan kesempatan untuk dikasihani. Dan sampai sekarang, Fenola belum mendapatkan tanda penolakan dari Bagaskara, maka dari itu ia dengan setia menulis kisah-kisah halunya.

***

Pagi ini sosok berambut panjang dan berpakaian putih terlihat sedang berada di bawah pohon.

Terlihat familiar.

Semilir angin membuat uraian rambut panjangnya dan daun diranting beterbangan.

Sedikit mengerikan.

Bukan Kunti. Melainkan Fenola yang selalu dihati.

Setiap pagi ritual Fenola adalah memberi air pada tanaman lomboknya. Terkadang ia menyiram dengan air keran, kadangkala juga ia menyiram lombok itu dengan air botolnya. Setiap hari, tanpa terkecuali harus ia yang menyiram miliknya.

Pikir Fenola, "Tanaman itu akan hidup apabila merasa dicintai."

Maka dari itu ia sendiri yang rutin menyiram tanamannya dengan kasih sayang.

Ya... begitulah Fenola.

Padahal, ujung-ujungnya sama. Tidak mau disuruh ganti lagi. Soalnya kalau lomboknya mati, disuruh ganti sama pak Arto. "Kan ngerepotin." Katanya.

Sedikit namun licik, mata Fenola mengarah kearah langit. Memandang matahari yang begitu terang baginya. "Kamu kapan datang, sih? Aku lelah berdiri di sini, cuma buat liat kamu." seloroh Fenola.

Tahu tidak tahu. Fenola sedang menunggu tempe.

Eh... bersyanda.

Tahu tidak tahu, Fenola sedang berbicara pada kembaran Bagaskara. Selain ia menyiram tanaman, posisi berdirinya juga sangat pas ketika ingin melihat kelas Bagaskara dari kejauhan.

Tanpa Fenola sadari, dua pasang mata melihatnya dengan seksama dari depan pintu kelas. "Efek biologi ini ya?" heran Garil menggelengkan kepala.

"Lagi jatuh cinta sama matahari, biarin aja. Rempong banget Lo." seloroh Fitri menyemprot ketua kelasnya itu.

Garil memelototkan mata tidak percaya."Gue lagi yang kena." batin Garil tertekan, melihat Fitri membersihkan jendela.

•••

"Fen, gak capek duduk di situ?" tanya Karya, teman sebangku Fenola yang setiap hari selalu meminta catatan pada Fenola.

Bibir Fenola tersenyum simpul. "Aku ini lagi nunggu matahari berjalan." kata Fenola.

Karya menatap Fenola yang setia duduk di teras depan kelas. Dengan menyender, ia kembali bertanya. "Emang ada matahari berjalan?"

Fenola tertawa, tangannya menunjuk ke arah lapangan. "Itu, sana..." selorohnya dengan menunjuk kearah rombongan pemuda.

Salahsatu dari mereka, dengan gaya yang khas, celana yang agak ketat pikir Fenola, dan rambut yang tidak rapi. Fenola sendiri heran, "Apa sih yang keren dari Bagaskara?"

Namun pertanyaan itu langsung Fenola sangkal. Bukan karena Bagaskara anak PMR, bukan karena Bagaskara anak paskib, bukan juga karena Bagaskara terkenal dan tampan. Begini katanya, "Selama ini, gak ada teman sebaya laki-laki yang bisa ngajarin aku, pas aku gak ngerti pelajaran. Gak pernah ada yang debat sama aku perihal metamorfosis kupu-kupu. Dan amazingnya, Bagaskara adalah orang pertama yang melakukan hal itu."

Menurut Fenola itu keren. Dia tahu, dia kagum. Dia suka. Pikirnya bukan cinta, sebab ia tahu 'mengapa?' Bagaskara keren dihatinya.

Semua orang paham, Fenola adalah gadis cerdas yang tahu menahu perihal matematika, kimia, fisika, bahasa inggris, dan jejerannya.

Dulunya, Fenola dan Bagaskara adalah teman sekelas dimasa SMP. Mereka berjuang mendapat peringkat pertama di kelas mereka. Dulunya, Fenola menganggap Bagaskara adalah manusia menyebalkan. Namun anehnya, sekarang saat melihat Bagaskara hatinya merasa senang.

Pernah suatu ketika saat Fenola, Bagaskara dan kawan-kawan membicarakan salah satu materi pembelajaran. Bagaskara dan Fenola beradu argumen.

Dan menurut Fenola itu keren. Bagaskara adalah orang pertama yang menyangkal pernyataan Fenola, dan yang pertama berdebat dengan Fenola masalah pelajaran.

Fenola suka itu. Mungkin, love language Fenola adalah 'study with you'. Makanya hatinya bisa terikat pada Bagaskara.

Pernah juga ketika belajar matematika, Fenola heran dengan perhitungan angka desimal bersusun. Dengan menurunkan egonya, Fenola bertanya pada Bagaskara. Dan cemerlangnya, pemahaman Bagaskara cepat masuk ke dalam otak Fenola.

Dan dari SD sampai kelas 10 SMA saat ini, menurut Fenola masih tidak ada teman seumur, yang bisa mengajarinya selain Bagaskara. Itu hal yang wow bagi Fenola. Sebab Fenola sampai sekarang layaknya guru bagi teman-temannya.

Katanya, "Dari 1.000 cowok Delmas. Kayaknya cuma dia yang bisa aku jadiin tantangan."

Tantangan untuk lebih dari Bagaskara maksudnya.

Karya menyipitkan mata, untuk matanya yang agak minus, membutuhkan waktu yang lama untuk melihat siapa orang yang dimaksud Fenola. "Mana sih, gak keliatan." desis Karya.

"Emang, karena cuma aku yang bisa liat bayangannya dia." seloroh Fenola sambil berdiri dan tertawa menuju kelas Bagaskara.

"Lah..." heran Karya menatap kepergian Fenola.


***

Sampai di kelas Bagaskara, Fenola sebenarnya tidak ingin melihat Bagaskara saja, tapi ingin menyampaikan rasa hatinya kepada Berlian, teman SMP-nya dulu yang kebetulan sekelas lagi dengan Bagaskara.

"Tumben, Fen. Dateng ke sini." tanya Berlian dengan logat khas Jawanya.

"Sebenernya gak mau lama-lama sih, aku di sini cuma mau ngasih tau sesuatu." ujar Fenola to the point.

Aneh emang. Crush kok dibocorin?

Mendengar hal itu mata Berlian langsung membulat. "apa?" tanyanya dengan kepo.

Fenola mengayunkan tangannya tanda meminta agar Berlian mendekatkan telinganya.

"Apa sih, ngomong aja to gapapa!" cecar Berlian.

Fenola menggeleng. "Sini!.."

Berlian mendekatkan telinganya pada bibir Fenola, wajahnya dengan serius menangkap getaran suara Fenola. Matanya membulat. "Hah?! Kok kamu suka dia to, Fen?" herannya.

"Lah emang kenapa?"

"Dari banyaknya cowok, dari kelas 10 sampai 12 kok kamu nge-stuck di dia to?"

Fenola menaikkan punggung tidak tahu. "Jangan dikasih tau ya," pinta Fenola.

"Lah kenapa gak ngomong langsung?"

Sedikit Fenola melirik ke arah Bagaskara yang sedang tertidur di mejanya. "Waktunya gak pas. Nanti bumi kebakaran. Sekarang musim kemarau, butuh hujan buat meredakan saltingnya Bagaskara."

Apapun untuk Fenola, jika baginya belum tepat, maka itu belum tepat.

@rnndtsfyn

"Untuk dia, tuan matematika."

FenoTipe [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang