4

812 80 4
                                    

    Suasana di meja makan begitu hening, namun tidak ada kehangatan di antara kedua pria berstatus pasangan yang duduk berseberangan. Mata mereka saling menghindar, menciptakan jarak yang terasa lebih dingin daripada udara di sekitarnya. Setiap suap makanan diambil tanpa percakapan, membiarkan kebisuan merajai ruangan.

Piring-piring yang berdering menghasilkan suara yang mengejutkan di tengah ketidaknyamanan. Keduanya tenggelam dalam dunia mereka sendiri, berbicara melalui hening yang semakin membeku. Mereka mencoba menyembunyikan ketidakakuran mereka, tetapi napas yang terhenti dan tatapan yang datar mengungkapkan kebekuan hubungan.

Rasa asing merayap di antara dua insan yang seharusnya saling mendukung. Meja makan yang seharusnya menjadi tempat berkumpul dan berbagi cerita, kini terasa seperti medan perang tak terucapkan. Pecahnya keheningan sepertinya hanya akan terjadi jika salah satu dari mereka bersedia membuka pintu komunikasi yang terkunci erat. Namun, suasana dingin di meja makan itu menunjukkan bahwa jarak emosional lebih sulit diatasi daripada sekadar jarak fisik.

Semenjak Nani keluar dari rumah sakit, keduanya semakin jauh dan asing. Nani yang biasanya melontarkan kalimat pedas di tiap kali mereka berada di meja makan, kini diam seribu bahasa. Tak ada lagi larangan, tak ada lagi teguran, tak ada lagi batasan dan tak ada lagi pertengkaran. Bahkan, Nani secara sukarela pisah ranjang dengan Dew, memilih tidur di ruang kerjanya yang terdapat ruang tidur.

Dew tak ambil pusing, tapi ada gelenyar aneh acap kali matanya menatap iris kosong milik Nani.

Pagi harinya, Dew sarapan sendirian. Nani sudah beranjak dari ruang makan saat dia baru saja menarik kursi ya.

"Iya, pak. Ada, pak. Baik akan segera saya antar."

Dew mengangkat tatapannya pada sopir Nani yanh berdiri diseberang meja. "Kenapa, pak? Belum berangkat?" Tanyanya.

"Ini, ada berkas yang tertinggal. Tuan Nani mengemudi sendirian hari ini," sopir itu berbicara.

Dew mengangguk, "Jadi, diantar ke kantornya?"

"Iya, Pak." Dew menyudahi sarapannya.

"Biar saya yang antar, sekalian berangkat." Tawar Dew.

Sopir itu tampak bingung dan ragu. "Tidak apa-apa, saya juga sedang tidak buru-buru ke kantor 'kok." Dew meyakinkan.

"Oh, baiklah." Suara sopir itu canggung. Sebagai pekerja di rumah besar Nani, bohong jika dia tidak menyadari tentang Tuan Muda nya yang memiliki hubungan buruk dengan suaminya. Inisiatif kecil ini mungkin akan membawa sedikit keberuntungan, semoga. Berkas diserahkan pada Dew.

-+-

    Sekali lagi Dew menapakkan kakinya di kantor Nani. Kedatangan kedua kalinya, dia mendapatkan sapaan hangat dari pegawa Nani. Di sambut senyum manis oleh sekretaris wanita Nani—Joong pergi ke luar kota untuk menggantikan Nani, begiti kata wanita muda itu.

"Maaf Tuan, jika tidak keberatan apakah tidak apa-apa untuk menunggu Pak Nani selesai dengan tamunya?"

Dew mengangguk ringan. "Siapa tamunya?"

Wanita muda itu berkedip canggung. "Ini, Tuan Sutivanisak."

Dew mengangguk. Memilih duduk di tempat yang disediakan. Pikirannya melayang—bertanya-tanya kenapa ayahnya datang ke kantor Nani di jam yang terbilang pagi. Tatapannya menatap pintu ruangan. Ponselnya berdering, sopir Nani yang menelepon.

"Ya."

"Mm... Maaf pak, apakah sudah sampai di kantor?"

[BL] Little Husband-Short story✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang