5

807 79 6
                                    

      Di ruangan makan, suasana canggung terasa seperti beban yang tak terucapkan. Mata mereka saling berpapasan, tetapi kontak mata cepat terputus. Sunyi hening memenuhi ruangan, hanya dipecah oleh desiran angin yang terdengar begitu nyaring. Setiap kata yang terucap terasa berat dan tergantung di udara, menciptakan ketidaknyamanan yang sulit dihindari.

Pandangan mereka menyelip, mencari jejak pembicaraan yang bisa meruntuhkan dinding canggung. Setiap usaha untuk memecah keheningan terasa seperti langkah-langkah yang hati-hati di medan ranjau. Senyap terasa semakin dalam, dan setiap detik terasa seperti abadi.

Kedua belah pihak merasa terjebak dalam kebisuan yang menghimpit. Suasana canggung seperti bayang-bayang yang mengambang di antara mereka, membuat setiap gerakan dan kata-kata menjadi terlalu diperhatikan. Dalam ketidakpastian, ruangan itu seolah menjadi panggung di mana drama keheningan mereka terus berlanjut.

Nani muak dengan atmosfer yang ada, dia meletakkan sendoknya—menyudahi makan malamnya. "Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan. Dengan membuat makanan ini... Ku harap semuanya baik-baik saja. Jika kau sudah selesai, temui aku di ruang tamu." Tukas Nani berlalu pergi dari ruang makan.

"Setidaknya berbasa-basi lah untuk mencuci piring mu sendiri." Gumam Dew sedikit kesal.

Beberapa menit berikutnya Dew menyelesaikan untuk membersihkan piring-piring kotor, pergi ke ruang tamu dan menemui Nani yang duduk dengan tenang di sofa.

"Ada apa?" Tanya Dew walaupun dia memiliki hipotesa tentang surat perceraian yang akan di serahkan Nani padanya malam ini. Begitu cepat.

Amplop coklat dikeluarkan, di dorong ke arah Dew berikutnya dengan pena hitamnya. "Tolong tanda tangani," suara Nani normal. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

Melihat logo pengadilan, sudah tidak salah lagi. Dew mengambil kertas itu. "Tiba-tiba?" Celetuknya.

"Bukankah seharusnya kau senang? Tidak ada lagi yang akan melarang dan mengawasi mu," balas Nani dengan senyum miring—terkesan mencemooh.

Kata-kata yang menusuk seolah bertindak sebagai cambuk tak terlihat, merenggut kedamaian dan menghantam seperti badai emosional. Kata-kata yang di keluarkan Nani bukan hanya rangkaian huruf, tetapi serangkaian pukulan yang meninggalkan bekas luka tak terlihat di dalam hati. Tertampar oleh kata-kata, rasanya seperti menghadapi badai kata-kata yang mengguncang keyakinan dan harga diri.

Pukulan kata-kata terdengar seperti ledakan emosi yang tidak terkendali, meninggalkan jejak ketidakpastian dan rasa tak aman, meruntuhkan benteng pertahanan emosional, membuat Dew terdampar dalam lautan keraguan.

Gelombang keraguan muncul kepermukaan, Dew bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah ini yang dia inginkan?

Matanya menatap lama pada secarik kertas di hadapannya. Jelas tertera nama Nani sebagai penggugat dan sudah di tanda tangani di atas materai. Disampingnya, kolom dengan namanya masih kosong.

Melihat ekspresi Dew yang tidak berubah dan seolah-olah mengabaikannya, Nani memilih untuk beranjak dari duduknya. "Dua hari lagi, berikan padaku dua hari lagi." Ujar Nani sebelum berlalu pergi ke lantai dua, ke kamar.

Dew agak linglung, pikirannya masih berkecamuk.

Semenjak hari itu, Dew bekerja seolah hanya membawa raganya. Pikirannya jarang di tempat. Pulang lebih cepat dan memasak makanan makan malam menjadi rutinitas yang tidak ia sadari. Bahkan sudah beberapa hari tidak menghubungi pacarnya. Dua hari sudah terlewati, Dew belum menyerahkan surat perceraian pada Nani. Belum bertemu dengannya.

"Ya, aku akan mengemasi barang-barang ku dulu. Astaga, iya aku tahu Joong. Baiklah, kita bertemu di bandara nanti." Dew mendengar suara langkah kaki terburu dan suara Nani di ruang tamu. Dia buru-buru pergi ke ruang tamu.

"Baru pulang?" Lagi, pertanyaan itu.

Nani menoleh padanya, dahinya berkerut dalam. "Ada apa dengan mu? Kenapa kau jadi pura-pura peduli padaku?" Mulut pedas itu lagi, jarang berinteraksi dengan Nani membuat Dew harus memupuk kesabaran sebelum menghadap ke wajahnya.

"Tidak apa-apa, makan malam sudah..."

"Tidak perlu, aku harus pergi. Makanlah jika kau ingin makan." Potong Nani tidak sabaran sembari melirik arlojinya.

"Kemana?"

"Bekerja. Omong-omong surat kemarin letakkan di ruang kerja ku. Aku buru-buru." Nani segera melanjutkan langkahnya, menaiki tangga dengan buru-buru.

Merasa tidak puas dengan jawaban Nani, Dew mengikutinya ke kamar. "Kau pergi ke mana?" Tanyanya lagi saat melihat Nani mengambil koper dari dalam lemari.

"Bekerja ke luar negeri."

"Berapa hari?" Nani yang mengemasi pakaian pun terhenti dengan sikap Dew yang tiba-tiba seperti 'suami'.

"Aku merasa aneh dengan sikap mu. Biasanya kau tidak akan peduli dengan apa yang ku lakukan. Sekarang? Kau berlagak seolah menjadi pasangan yang perhatian."

Dew menatap mata Nani yang menyelidiki padanya. "Apakah aku tidak boleh bersikap baik padamu? Setidaknya sekali saja." Balasnya.

"Tidak perlu, dan tidak di butuhkan. Aku bahkan merasa jijik jika kau bersikap seperti ini padaku." Sembur Nani tanpa pikir panjang, melanjutkan kegiatan mengemasi pakaian nya.

Gemuruh kemarahan melanda Dew  seperti badai yang tak terduga. Hatinya terasa seperti kawah gunung yang mendidih, memancarkan api kemarahan yang melibas segala-galanya di sekitarnya. Pikirannya dipenuhi oleh api kemarahan yang menyala-nyala, membara dengan intensitas yang sulit diredam. Kedua tangannya terkepal untuk menahan amarahnya.

"Apakah aku semenjijikkan itu untukmu?"

"Ya. Lebih baik kau pergi ke pacarmu itu daripada merecoki ku berkemas. Tidak mem... Ah!" Nani berteriak kaget saat tubuhnya di dorong keras ke ranjang. Dew ada di atasnya, menindih tubuh nya yang lebih kecil.

"Sial, apa yang..."

"Perhatikan kata-kata mu." Dew memperingati, giginya terkatup saat berbicara. Pandangannya menusuk tajam, memancarkan kemarahan yang tak terbendung. Seolah-olah ada kilat menyambar di matanya, mencerminkan keangkuhan dan ketidakpuasan yang tak dapat ditahan.

Nani tertegun. "Tahukah kamu bahwa mulutmu ini sangat pedas? Salah satu alasan kenapa aku membencimu karena ini. Kau tidak bisa memfilter kalimat mu, tidak memikirkan orang-orang yang menerima kalimat mu, tidak memikirkan orang-orang yang menyiapkan mental dan batin mereka saat menghadapi mu."

Mendengar itu, Nani juga merasa marah. "Lalu, apa bedanya aku dengan mu? Kau sendiri tidak pernah memikirkan perasaanku saat kau secara terang-terangan pergi dari rumah untuk menemui jalang mu itu."

"Hei!"

"Hei! Sekarang waktu ku untuk berbicara. Jujur saja, aku tidak pernah mencintaimu. Persetan dengan cinta. Jika saja aku tidak memikirkan ayah mertua, aku tidak akan sudi mau bertahan lebih lama dengan mu. Jika saja bukan karena keluarga kalian yang retak itu..." nafas Nani terengah-engah, amarahnya menggebu-gebu membuat Dew bungkam. "Kau bahkan marah saat aku mengatainya? Kalian sama saja, bajingan dan jalang. Pasangan yang serasi."

Hening, keduanya sama-sama terdiam dengan segala argumen di tenggorokan. Nani kesal, marah dan sakit hati. Mengeluarkan segala argumennya membuat dia kehabisan tenaga, melirik ponselnya yang bergetar.

"Pergi," Nani menyingkirkan tubuh Dew dengan kasar. Menjawab telepon.

"Ya... Aku akan segera berangkat." Nani menutup kopernya, pergi dari kamar dengan koper di seretnya.

Dalam sekejap, kebingungan dan keheningan melanda membisu. Emosi bergelombang, menciptakan gejolak yang sulit diprediksi. Gejolak amarahnya yang sebelumnya turun sedikit demi sedikit. Argumen dan kalimat putus asa Nani menjadi pengingat keras akan kesalahan yang mungkin menyadarkan akan kebenaran yang sulit diterima. Bagaimanapun juga, sensasi itu memaksa refleksi dan merangkul realitas yang mungkin terabaikan sebelumnya.

Keluarga nya yang retak... Dew tahu, ayahnya memang pernah berselingkuh tapi dia tidak tahu hal lain yang dibicarakan Nani dan ayahnya di kantor hari itu.

Dia berjalan ke arah jendela, menyibak gorden dan menatap Nani yang masuk ke dalam mobil tanpa menoleh ke belakang. Punggung kecil itu... Dew berbalik, hatinya terasa tercubit menatap punggung kecil Nani.

[BL] Little Husband-Short story✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang