Kirana hanya diam di MRT, entah kenapa dia menjadi kepikiran terus dengan ekspresi Mbak Tika tadi siang. Si Dharma itu kenapa sih? Baru aja perkenalan udah nyebelin gitu."Mar makan dimana dulu gitu mau gak? gue tiba-tiba laper." tanya Kirana sembari memegang perutnya.
"Hah?" Omar mencabut earphone-nya.
"Gue laper, temenin makan mau gak?" Kirana ulang, agak malu.
"Hmm.. yuk, turun di Blok M mau? Banyak yang enak tuh di situ."
Mendengar itu, semangat Kirana langsung kembali."Boleh!"
"Lo pengen makan apa?"
"Hmm... Ada restoran yang dulu gue suka datengin bareng keluarga."
Omar tampaknya tertarik dengan restoran ini. Setelah turun dari stasiun MRT, mereka berdua berjalan kearah Blok M Square, terdapat banyak sekali restoran namun Kirana masih ingat tepat dengan restoran yang ia inginkan. Ia berjalan dengan cepat dan Omar mengikutinya di belakang. Kirana berhenti didepan sebuah restoran yang sepi, pintunya terlihat sudah tua dengan tanda "Buka". Kirana dengan pelan masuk kedalam. Restoran ini belum banyak berubah, interior didalam masih nyaman, suasananya hangat, dan aroma hidangan Jepang lezat yang pernah membuat keluarganya begitu bahagia dulu masuk kedalam hidungnya.
Kirana duduk di meja smoking area, meja persis dimana ia dengan keluarganya dulu sering tempati. Tak lama kemudian, pelayan datang membawakan menu, "Lo musti cobain ini, sama ini." Kirana merekomendasikan makanan yang dulu Ia sering pilih. Omar mengangguk dan mengikuti apa yang Kirana pilih, "Mbak, aku pesen 1 Oyakodon, sama untuk teman saya, 1 Tantamen, untuk minumnya ocha dingin 1 dan..."
"Ocha panas 1, Mbak." tambah Omar. Sang pelayan dengan ramah mengambil kembali menu dari meja dan pergi, dari ekspresinya tampak ia masih mengingat Kirana.
Sembari menunggu, Kirana memperhatikan lagi interior restoran. "Belum berubah sama sekali loh tempat ini, dari gue kecil masih aja kayak gini."
"Oh ya?"
"Dulu Bapak gue suka ngajak keluarga gue makan di sini setiap bulan, dan anehnya kita enggak pernah bosen, enak banget soalnya."
Omar menyalakan rokok dan menawarkan ke Kirana, namun ditolak dengan halus.
"Terakhir gue makan di sini tuh pas SMA kalau gak salah... sama Akbar."
"Akbar, Akbar mantan lo?"
Ya betul Akbar yang badung itu...
"Iya Akbar..." Jawab Kirana dengan nada penuh penyesalan. Akbar adalah pacar Kirana semasa SMA, Laki-laki paling ganteng di angkatan, orang tuanya kaya dan sangat memanjakanya. Ketiga hal itu membuat Akbar menjadi seorang yang penuh kearoganan dan egoisme.Kenapa aku bisa pacaran ya sama dia?
Tak hanya itu, Kirana juga ingat bagaimana Akbar memperlakukan dirinya, betapa posesifnya dia saat dirinya mulai kuliah di Bandung. Kirana juga jadi ingat bahwa Akbar lah yang pertama kali...
"Sekarang dia dimana ya?" Tanya Omar, penasaran.
Omar mengerutkan matanya, ia menghisap rokoknya dalam, dan menghela nafasnya sembari mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.
"Setau gue sih dia sekarang kerja di perusahaan bapaknya, Batu bara atau minyak gitu kalau gasalah. Gue sempet lihat dia di postingan Tasya." Jawab Kirana.
Tasya anak populer juga, teman baik Akbar, sekarang ternyata menjadi istrinya.
"Gue dulu sering digebugin sama dia." ucap Omar sembari tertawa kecil. "Inget banget gue dipanggil samsak pribadinya."
Mendengar ini, perut Kirana kembali sakit, dia jadi ingat betapa kejamnya Akbar kepada Omar dulu.
"Serius Mar?" Kirana pura-pura tak tahu.
Omar mengangguk dengan senyum masam.
"Ya tapi udah lewat jugasih, udah gak peduli gue sebenarnya. Masih muda, gak tahu mana yang salah dan yang benar." Tambah Omar.
Kirana tidak tahu mau menjawab apa.
Maaf Omar...
Sebelum Kirana mau menjawab, pelayan datang membawa makanan mereka.
***
Oyakodon ditaruh didepan Kirana, hidangan ayam yang dibaluri kuah kaldu khas jepang dan telur orak-arik setengah matang, ditaruh diatas nasi yang hangat.
Sementara di depan Omar, semangkuk Tantanmen. Mie Ramen dengan kuah yang creamy dan sedikit pedas, ber-topping daging cincang dan dipinggirnya ada telur setengah matang yang dibelah menjadi 2.
Kedua hidung mereka dimasuki dengan aroma yang membuat perut mereka bergetar.
"Ini enak banget loh Mar" ucap Karina dengan semangat. Mereka berdua dengan lahap memakan hidanganya.
Topik Akbar yang penuh dengan nostalgia buruk hilang seketika.
Tampa berbicara, mereka menikmati hidangan itu dan dalam sekejap mangkok sudah tak berisi apapun. "Wah... gila enak banget ini Ran." kata Omar sembari mengusap keringat di dahinya.
Kirana hanya menjawab dengan tawa, perutnya kekenyangan.
Mereka berdua terdiam, memerhatikan mangkuk kosong masing-masing. Kirana mengambil teh Ocha dan meminumnya sementara Omar menghela nafas dan mengambil sebatang rokok, ia kembali menawarkan rokoknya ke Kirana, kali ini menerimanya.
Kirana merenung, sambil mengingat bagaimana restoran kecil ini menyimpan banyak sekali kenangan dengan Bapak. Kirana selalu merasa Bapak merupakan sosok yang menjadi panutanya, Ia selalu ingat betapa baik, penyayang, suportif dan bertanggung jawab bapaknya. David bapak Kirana, meninggal disaat Kirana masih kuliah, lebih tepatnya beberapa bulan sebelum Kirana sidang. Hal ini tentu sangat berdampak untuknya. Ia selalu rindu dengan Bapaknya.
Bapak katanya mau lihat Kirana kuliah? Bapak katanya mau lihat nanti Kirana kerja, yang katanya nanti mau anter-jemput Kirana?
"Ran, lagi mikir apa? Mikirin si Dharma ya?" tanya Omar, sedikit bingung.
"–Eh, enggak-enggak." jawab Kirana keluar dari renunganya. "Gue cuman inget Bapak gue tiba-tiba."
Omar sedikit kaget dengan jawaban Kirana. Aduh salah nanya nih gue... Ia bingung harus merespon apa. "Oh... Emangnya Bapak lu dimana Ran?"
"Bapak gue udah gak ada Mar." Jawab Kirana dengan tawa asam. Aduuuh salah nanya lagi... ".. bapak gue meninggal pas gue kuliah." jelasnya
Omar merasa sangat bersalah dengan pertanyaannya. "Aduh maaf banget Ran, gue gatau..."
"Eh gapapa Mar." Tawa Kirana, "Maaf juga lho."
Melihat tawa Kirana, Omar yang tadinya tidak enak akhirnya ikut tertawa. Mereka berbincang terus sembari menunggu rush hour selesai. Mereka membicarakan Dharma dan sindiranya terhadap Mbak Tika tadi siang, gosip mengenai hubungan Andien dengan Surya sampai kantor lama Kirana yang bangkrut.
Dari perbincangan mereka selama di restoran itu, mereka berdua sadar ada dua topik yang mungkin menjadi sensitif untuk dibicarakan, yakni bapak Kirana dan Akbar.
Jam menunjukan pukul 20.49
"Udah jam segini nih, cabut yuk Mar." Ajak Kirana.
Omar menjawab dengan anggukan dan meminta bill kepada pelayan. Setelah membayar masing-masing, mereka langsung beranjak ke Stasiun MRT. Seperti biasa Omar turun di stasiun Cipete dan Kirana di Fatmawati.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl with Stars in Her Eyes [Gadis dengan Bintang-Bintang di Matanya]
RomansaDi tengah hiruk-pikuk Jakarta, Kirana, seorang perempuan muda, baru saja pindah ke kantor baru setelah perusahaannya bangkrut. Di kantor ini, Kirana harus beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar berbeda. Sifat naif dan idealisnya diuji ketika...