Bab 4 : Ilmu Mistis Pedalaman

650 62 10
                                    


Galih meraih handphoneku, lalu mencoba bicara dengan Pak Wardoyo di seberang sana.

"Halo…hallo, pak…!"

Rupanya sambungan telepon telah terputus. Dengan raut wajah kecewa, Galih mengembalikan handphone padaku.

"Kenapa dibanting?" tanya Galih seraya mengerutkan dahi.

Aku tercekat, handphoneku baik-baik saja. Tidak ada layar retak, juga tak ada genangan darah. Sepertinya aku sedang berhalusinasi. Mungkin karena terlalu kalut membuatku berkhayal yang bukan-bukan.

"Entahlah, mungkin aku hanya kelelahan," jawabku lemah sambil menggelengkan kepala.

"Sepertinya pak Wardoyo yang menelponmu. Ada apa?"

"Kalau tidak salah, Retno ada di rumah sakit. Di IGD. Kau tahu tempatnya?"

"Hanya ada satu rumah sakit di sini. Ayo! "

*****

Aku dan Galih menanyakan pada petugas jaga IDG, ternyata Retno sudah pindah ke ruangan kelas dua. Kami berdua dengan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit dan berujung kesasar. Kami kemudian bertanya pada perawat jaga di salah satu ruangan, tapi rupanya mereka tidak profesional.

Meja informasi yang semestinya ada petugas jaga malah kosong melompong. Para petugas yang semestinya berjaga justru asyik nonton televisi di ruang istirahat petugas di belakang meja informasi. Aku mulai kesal, kupanggil-panggil mereka tidak peduli. Para perawat itu malah semakin asyik tertawa di depan televisi.

Kugebrak meja, barulah seorang perawat lelaki keluar dengan wajah cemberut.

"Ada apa?" sahutnya ogah-ogahan.

"Ruang kelas dua dimana?"

"Keluar dari ruangan ini belok kanan. Nanti belok kanan lagi lalu belok kiri. Di sana ada tulisannya, baca aja. Kalo gak, tanyain aja orang lewat," ujarnya seraya balik kanan lalu kembali menghampiri petugas lain yang menonton televisi.

"Sudah…sudah," Galih menarik lenganku, menenangkanku yang dilanda emosi.

"Rumah sakit kelas C pelayanannya memang kayak sampah. Makanya warga sini lebih senang berobat ke kabupaten tetangga, atau sekalian ke Banjarmasin. Sekarang, kita lebih penting mengkhawatirkan Retno," ungkap Galih sambil melangkah.

Petunjuk yang diberikan perawat tadi ternyata membingungkan. Kami tidak tahu harus berbelok di persimpangan mana dan lurus di lorong yang mana. Papan petunjuk arah juga tampak menyesatkan. Setelah bertanya kepada beberapa pengunjung yang lewat, ruangan yang kami cari akhirnya ketemu.

Di dalam ruangan, terdapat beberapa pasien yang tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang. Masing-masing pasien ditemani oleh pihak keluarga. Mereka sibuk dengan aktifitas masing-masing, ada yang berdoa dan ada yang bercengkrama.

Di salah satu sudut, pak Wardoyo duduk di sebuah kursi dengan wajah cemas. Barang bawaan mereka tersusun berantakan di antara kakinya. Di sampingnya Retno terkulai lemah sementara jarum infus menusuk lengan kiri. Pak Wardoyo membelai lembut rambut putrinya seraya mengenggam jemarinya. Sudut matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Di sebelahnya, bu Lastri menangis sesenggukan, menelungkupkan wajah di ranjang. Bahunya berguncang karena isak.

Pak Wardoyo mendongak, melihatku dan Galih yang mendekat. Ia lantas berdiri, menyambut kedatangan kami. Ekspresi wajahnya terlihat penuh kekhawatiran, sedangkan matanya berkaca-kaca. Gurat kelelah tampak jelas di sudut pipinya yang sudah mulai keriput.

"Retno sedang tertidur," katanya, sebelum aku dan Galih sempat mengajukan pertanyaan.

Aku mengangguk. "Bagaimana kata dokter?"

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang