Mobil terus berguncang-guncang menghentak permukaan jalan yang kasar. Suara binatang malam semakin riuh, sementara lolongan anjing kian sahut-menyahut. Di atas kepala kami, daun-daun bergemirisik ditiup angin dan ranting-ranting bergoyang pelan.Selama beberapa saat aku hanya mematung, benar-benar tak bisa bergerak. Sekujur badan membeku. Bahkan, mulutku rasanya terkunci hanya untuk sekedar berteriak. Napasku memburu dan jantungku berdebar-debar tidak karuan.
Kami tercengang sewaktu ada darah mengalir dari kolong mobil. Darah membasahi permukaan jalan yang kotor dan penuh debu. Lampu depan dan belakang mobil terus berkedip tanpa henti sementara bunyi klakson kian memekakkan telinga.
"Retno…! Dimana Retno…?!" pekik bu Lastri.
Kami tersadar, Retno tidak berada diantara kami.
"Dibyo, jangan-jangan itu…" seru Galih.
"Iya, ayo!"
Aku dan Galih bergegas berjongkok, mengintip ke kolong mobil. Kutepis rasa takut dan menyorotkan senter handphone meski bulu kudukku merinding. Begitu melihat pemandangan yang mengerikan di bawah situ, aku langsung terlonjak. Aku terduduk, pantatku hempas di atas jalan keras. Bahkan handphone yang kupegang terlempar.
Bu Lastri meraih handphoneku tadi menyerahkan kembali. Kami berdua kemudian mengintip ke kolong mobil, menyusul pak Wardoyo dan Galih yang sudah duluan. Bu Lastri menutup mulut demi menahan jerit, di hadapan kami ada Retno yang sedang menelungkup. Kepala dan bahunya bergoyang pelan di kolong mobil yang sempit. Darah segar tampak menutupi mukanya.
"Ret…Retno…ini bapak sama ibu, nak…" bujuk pak Wardoyo.
Retno mendongak, menatap kami dengan senyum. Mulutnya belepotan darah dan di celah mulutnya ada potongan daging yang menjuntai. Di hadapannya, ada seekor anjing kampung dengan kepala retak dan biji mata keluar serta mulut menganga meneteskan darah. Anjing kampung yang terlindas mobil kami.
Anjing malang itu tergeletak dan Retno dengan tenang merobek perutnya dengan mulut, menjilati darah, serta menelan dagingnya. Isi perut binatang itu berhamburan dan ususnya terburai.
Sluurrp…
Usus itu Retno seruput hingga masuk semua ke dalam mulut.
Kecuali bu Lastri yang langsung menjauh untuk memuntahkan isi perut, kami bertiga sekuatnya menahan mual.
Pak Wardoyo berbuat nekat. Setelah melepas jaket, Ia merayap seraya terus membujuk Retno untuk keluar. Saat itulah kusadari lelaki itu memendam kepedihan. Suaranya terdengar putus asa dan matanya berkaca-kaca.
"Pak, hati-hati, pak," seru Galih.
Pak Wardoyo terus merayap di kolong yang sempit tanpa memikirkan keselamatannya. Aku membantunya dengan menyorotkan senter handphone.
"Gggrrhhh…."
Retno mengeram, kedatangan sang ayah membuatnya marah. Urat di wajah dan lehernya menyembul dan tatapannya nyalang bak srigala. Retno sekonyong-konyong mencakar ayahnya sendiri, pak Wardoyo kaget hingga kepalanya terantuk kolong mobil.
Crees…
Pipi pak Wardoyo berdarah, ia meringis. Posisi yang sempit menyulitkan gerakannya. Retno kian beringas, kepanikan semakin menjadi. Pak Wardoyo terancam, Retno kian kesetanan. Retno mengamuk, ia mulai merayap. Tangannya membentuk cakar, menimbulkan bunyi gesekan yang ngilu saat menyentuh cor semen yang terkelupas karena ulahnya.
"Lih…! Bantu aku! Lih…!"
Aku berteriak, meraih kaki pak Wardoyo dan berusaha menariknya keluar. Galih hanya diam, tak bergerak dengan napas yang tersengal. Tak kupedulikan Galih yang hanya melongo, segera kuseret pak Wardoyo secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
TerrorLima tahun lalu, Retno tiba-tiba menghilang hanya beberapa hari sebelum hari pernikahan. Hati Dibyo remuk redam, pernikahan yang ia dambakan gagal berantakan. Yang lebih menyakitkan, Retno pergi tanpa mengucap sepatah kata. Meski telah melakukan be...