Bab 5 : Amin

620 59 6
                                    


Pak Wardoyo lanjut bercerita tentang apa yang mereka alami saat hendak pulang. Untaian demi untaian kata yang terucap dari bibirnya membuatku maupun Galih merasa resah.

"Sebenarnya aku dan ibu masih ingin istirahat barang satu atau dua hari lagi. Bagaimana pun juga kami masih kelelahan setelah perjalanan panjang kemaren. Namun, Retno mendesak ingin segera pulang."

Selanjutnya, adegen demi adegan yang ia ceritakan membuatku terhanyut, seolah aku turut menyaksikan.

Sekitar pukul 10.00 pagi, pak Wardoyo tengah menikmati kopi sembari merokok bersama haji Barkat, si pemilik kontrakan. Memang sudah kebiasaan pak Wardoyo untuk bangun pagi meski tidur selarut apapun. Setelah itu ia akan tidur siang jika merasa tidurnya belum cukup.

Kala itu mereka mengobrol panjang lebar, dari hal remeh temeh yang sifatnya basa basi hingga ke pembicaraan serius terkait apa yang dialami Retno. Mereka bercengkrama di tengah berisiknya suara kicauan dari gedung sarang burung walet milik haji Barkat yang ada di samping rumah. Singkong goreng serta aneka wadai juga terhidang di depan mereka.

"Sewaktu pertama kali ngontrak di sini, Retno itu baik-baik saja. Ia bersikap normal, tidak ada yang aneh. Layaknya anak gadis yang baru diterima kerja, ceria dan penuh semangat. Setahun setelah itu, barulah Retno mengalami kejadian yang agak ganjil.

Suatu sore, saat adzan magrib berkumandang, Retno mendadak histeris di kamarnya. Ia menjerit, merasa panas. Awalnya, kukira hanya kapidaraan biasa. Ketempelan mahluk halus yang tak terlalu serius. Entah karena kepuhunan atau manyaranta. Tidak sengaja membuang air panas sembarangan atau mematahkan ranting pohon, sehingga ada kambe hai yang merasa terusik."

"Kambe hai?" tanya pak Wardoyo.

"Bangsa jin," sahut haji Barkat, "Setelah dipercik air doa, ia mulai mereda. Namun, aku sadar ada yang tak beres ketika kejadian serupa berulang. Aku tak bisa berbuat banyak, karena ilmuku kalah tuha. Hanya semampunya saja."

Haji Barkat menuturkan, ia sebenarnya curiga karena Retno acap kali mendadak demam tatkala hendak pulang kampung. Bahkan, Retno pernah sudah tiba di bandara di Banjarmasin, tapi keesokan hari sudah kembali ke kontrakan.

"Aku tidak berani ikut campur terlalu jauh, lantaran kukira ada masalah keluarga. Biasanya, ketempelan mahluk halus akan semakin menjadi apabila ada masalah keluarga atau sedang sakit. Selain itu, Retno menjalani hari dengan sikap normal, tetap bekerja seperti biasa. Ia juga pintar membaur, bahkan sudah bisa bahasa daerah sini. Karena itu, kukira ia memang tidak berniat pulang kampung."

"Pak haji, terima kasih banyak, sudah turut membantu menjaga Retno selama ini," ujar Pak Wardoyo seraya menatap haji Barkat dengan serius.

"Hanya saja, dulu sempat ada seorang lelaki yang kadang mampir ke kontrakannya usai jam kerja. Persis beberapa bulan sebelum putrimu sakit-sakitan. Lelaki itu naksir berat dengan Retno. Namun, anak gadismu menolak. Katanya, lelaki itu sudah beristri."

"Seorang lelaki? Siapa?" buru pak Wardoyo.

"Atasannya. Lelaki itu kepala cabang tempat Retno bekerja."

Mendengar cerita pak Wardoyo dadaku bergemuruh. Emosiku menggelegak seketika. Dapat kurasakan darahku mendidih karena amarah.

"Kurang ajar! Pak, akan kucari lelaki itu. Akan kuhajar dia. Akan kubuat dia menyesal karena telah mencelakai Retno!" sentakku penuh emosi.

Galih bergegas mencengkram kedua pundakku, lalu menatapku tajam. "Dibyo, tenang! Jangan sembarang menuduh kalau tak ada bukti."

"Aku tidak peduli. Siapapun yang mencelakai Retno akan berhadapan denganku."

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang